Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Bule yang Jajan dalam Bus Seribu Rupiah Saja

6 November 2020   08:06 Diperbarui: 29 April 2021   22:49 3615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bule yang beli jajan seribu rupiah ini mengajari kita untuk berhemat dalam perjalanan (foto: mymediajournalonline.blogspot.com)

Ini kisah nyata yang kusaksikan sendiri saat masih bekerja di Bali. Ketika itu aku hendak pulang ke Malang. Seperti biasa, bus yang kutumpangi sedang menunggu jadwal keberangkatan di Terminal Ubung, Denpasar.

Di bangku sebelah, duduk seorang pria muda bule. Sebagai warga negara yang menjunjung adat ketimuran, aku pun mencoba berkenalan dengannya. Namanya Michael...(nama belakangnya sulit kueja pengucapannya), dari Belanda.

Michael ini ternyata backpacker sejati. Sudah sebulan dia berkeliling beberapa negara ASEAN, hingga akhirnya singgah di Bali. Dari Bali, Michael bermaksud menikmati pemandangan Gunung Bromo kemudian lanjut ke Jakarta dan pulang ke negaranya.

Saat sedang asyik bercakap-cakap dengan bahasa yang patah-patah bercampur isyarat tangan, seorang ibu muda masuk ke dalam bis. Tangannya menjinjing keranjang berisi jajanan onde-onde.

Ketika sampai di bangku si Michael, ibu ini pun menawarkan dagangannya dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, yah paling tidak untuk sekelas pedagang asongan.

"Hi Sir. Do you want to buy this cake? A traditional cake with green beans inside. It's cheap, just one thousand rupiah for a piece......."

Mendengar kata "one thousand rupiah", Michael rupanya tidak percaya.

"One thousand?" tanya Michael sambil menunjuk onde-onde dalam keranjang.

"Yes, Sir. One thousand," jawab ibu penjual kue itu dengan antusias. Mungkin dia berpikir si Michael akan memborong dagangannya karena harganya yang murah. Seribu rupiah bagi wisatawan asing di Bali nyaris tidak ada harganya.

"Ok. I buy one," kata Michael.

Senyum di wajah ibu penjual itu langsung sirna, berganti raut muka tak percaya. Masak bule berwajah klimis ini cuma beli onde-onde satu saja?

"Only one, Sir?" tanya ibu penjual memastikan.

"Yes, only one," jawab Michael. Tangannya kemudian merogoh saku celananya. Sekejap kemudian, diangsurkannya dua keping uang logam lima ratus rupiah!

Ibu penjual onde-onde menerima uang seribu rupiah dari Michael, lalu diberikannya satu potong onde-onde.

"Thank you, Sir. Happy holiday," katanya. Senyum yang tadi hilang kini muncul kembali.

Melihat transaksi itu, perasaanku bercampur baur antara ingin tertawa dan kasihan dengan ibu penjual. Aku mengerti, melihat ada bule di dalam bus ia mungkin berharap si bule mau membeli banyak dagangannya. Tapi apa daya, si bule hanya membeli satu potong onde-onde.

Di satu sisi, aku juga salut dengan sikap ibu penjual itu. Meski kecewa, ia tidak melontarkan keluhan atau perasaan tidak senang pada Michael. Sekiranya ia mau, ia bisa mengomel "Bule kok kere" dalam bahasa Indonesia yang tentunya tidak akan dimengerti Michael. Alih-alih menggerundel, ibu penjual tersebut masih tetap tersenyum pada Michael dan melayani dengan baik.

Di setiap kejadian, selalu ada hikmah. Begitu pula dengan kisah bule yang membeli jajan cuma seribu rupiah. Ada pelajaran yang bisa kita ambil.

Pertama, jangan banyak jajan dalam perjalanan. Michael bukan pelit, apalagi kere. Kalau kere, tidak mungkin dia berkeliling beberapa negara ASEAN, meski secara backpacking.

Michael mengajari kita untuk berhemat dalam perjalanan. Karena kita tidak akan pernah tahu, apa yang kita butuhkan di tempat tujuan.

Kedua, pelajaran dari ibu penjual onde-onde.

Seringkali kita mendapati penjual makanan yang menggerutu bila kita hanya membeli sedikit. Tak jarang pula ada penjual yang ngomel-ngomel apabila kita hanya tanya-tanya harga, namun tak jadi membeli.

Dalam keseharian, kita juga sering melakukan hal yang sama. Tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita.

Kalau orang lain melakukan hal yang buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Kalau orang lain tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang itu.

Padahal, apa yang dilakukan orang lain seharusnya tidak berpengaruh dengan apa yang hendak kita lakukan. Jika kita ikut merasa sebal atau jengkel karena orang lain berbuat menyebalkan, itu artinya kita membiarkan orang tadi mengatur dan mempengaruhi hidup kita. Mengapa kita harus mengijinkan orang lain menentukan cara kita dalam bertindak?

Ibu penjual onde-onde itu tidak membiarkan tindakan Michael mempengaruhi dirinya. Sekalipun ia kecewa karena Michael hanya membeli satu potong kue, tapi ia tidak membiarkan hal ini mempengaruhi caranya bertindak. Ia tidak menunjukkan kejengkelan, atau mempertontonkan terus terang rasa kecewanya.

Ibu penjual itu tetap melayani Michael dengan ramah. Senyumnya menghiasi bibir. Bahkan disampaikannya ucapan terima kasih dan selamat berlibur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun