Sejak 8 bulan yang lalu aku lebih banyak di rumah saja, secara harfiah. Selain karena pandemi Covid-19, juga karena aku sekarang punya kewajiban tambahan: merawat ibu mertua.
Mungkin bagi sebagian orang terdengar aneh, laki-laki yang sudah berkeluarga kok merawat orangtua. Bukankah semestinya laki-laki itu kewajiban utamanya mencari nafkah?
Memang benar, tugas utama seorang suami adalah mencari nafkah bagi keluarganya. Tapi jangan lupa, tugas utama itu masih kalah dengan kewajiban berbakti pada orangtua, terutama seorang ibu.
Bagiku, ibu mertua sama dengan ibu kandungku sendiri. Aku tak pernah menganggapnya beda, atau memperlakukannya dengan berbeda pula. Dan, karena ibu mertuaku ini satu-satunya orangtua yang masih ada, kewajiban untuk merawat beliau kini ada di pundakku sebagai kepala keluarga.
Sebenarnya ada 3 saudara istriku yang juga tinggal di kota yang sama. Tapi karena mereka sudah berkeluarga dan ikut suaminya masing-masing, jadilah aku dan istriku yang tinggal di rumah ibu kebagian tugas merawat beliau.
Merawat orangtua yang sudah berusia senja memang merepotkan dan menyita banyak waktu. Apalagi bila orangtua kita punya riwayat penyakit yang cukup serius.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, ibu mertuaku menderita diabetes dan beberapa penyakit dalam lainnya akibat komplikasi kanker payudara yang pernah dideritanya. Keadaan ini bertambah parah tatkala mendadak ibu mertuaku terkena demensia, penurunan daya ingat.
Memori otak ibu bercampur baur, antara yang lama dan yang baru. Ibu memang masih bisa mengingat anak cucunya atau tetangga sekitar rumah. Tapi, seringkali peristiwa-peristiwa yang sudah lama terjadi mampir kembali di memori otak seolah peristiwa itu baru saja terjadi.
Misalnya, ibu pernah ngotot minta diantar ke rumah sakit tempat beliau pernah bertugas sebagai perawat. Dalam ingatan ibu, dirinya merasa masih jadi perawat dan hari itu waktunya bertugas jaga malam. Bisa dibayangkan sendiri kan?
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ibu sering menghidupkan kompor di rumah untuk menjerang air buat mandi. Padahal baru satu jam sebelumnya ibu sudah mandi. Namun karena ingatannya tergerus, aktivitas yang baru dilakukan tidak bisa diingat kembali.
Pernah pada pukul 03.00, ibu hendak menjerang air. Panci  berisi air sudah diletakkannya di atas kompor. Namun karena kenop kompor agak macet, api tidak mau menyala sementara gasnya mengalir. Mengira apinya sudah menyala, ibu lalu kembali ke kamar hendak beristirahat dan menunggu air panas.
Untunglah sebelum terjadi apa-apa, aku yang saat itu sedang tidur di kamar terbangun begitu mencium bau gas yang cukup tajam. Kumatikan kompor dan kutengok ibu di kamar dengan maksud memberitahu, namun yang kulihat ibu malah tertidur pulas.
Kejadian-kejadian seperti itu sudah menjadi rutinitas harian selama 6 bulan terakhir. Kondisi ini membuat aku tak bisa lagi meninggalkan rumah untuk mencari nafkah sebagaimana yang semestinya dilakukan laki-laki kepala keluarga.
Sejak 2 tahun terakhir, pekerjaanku sebagai fasilitator pelatihan digital untuk UMKM memang lebih banyak dilakukan dari rumah. Situasi pandemi membuat pelatihan yang biasanya diselenggarakan tempat-tempat pertemuan tidak bisa lagi dilakukan. Seperti yang dilakukan banyak perusahaan, pelatihan-pelatihan semacam ini akhirnya dilakukan secara online.
Di luar itu, aku juga menulis konten untuk beberapa perusahaan yang selama ini jadi klien-ku. Aku juga masih menyempatkan waktu untuk memberi bimbingan penulisan bagi guru-guru, bersama dengan beberapa teman yang tergabung dalam Komunitas Penulis Buku Malang Raya (Komalku).
Allah memang Mahaadil. Di saat penghasilanku menurun dan tidak tetap berapa yang bisa kudapat, usaha menjahit yang dirintis istriku mulai berkembang. Pandemi Covid-19 membawa berkah tersendiri bagi usaha-usaha konveksi.
Banyak tetangga dan kenalan yang memesan masker kain. Ada pula yang menjahitkan seragam sekolah anaknya. Singkat kata, penghasilan kami sudah tercukupi meski sumbernya utamanya bukan dariku.
Dari sini aku dan istriku lalu sepakat untuk bertukar peran. Aku yang merawat ibu, istriku yang mencari nafkah. Bukan berarti aku meninggalkan kewajiban utamaku memberi nafkah keluarga, karena aku juga punya sumber penghasilan sendiri. Tapi harus diakui, sumber penghasilan kami saat ini lebih banyak bergantung pada usaha istriku.
Begitu pula dengan tugas merawat ibu, bukan berarti istriku lepas tangan begitu saja. Bagaimanapun beliau adalah ibu kandungnya. Hanya saja, ibu mertuaku sepertinya lebih patuh kepadaku daripada anak-anaknya sendiri.
Bagiku, tukar peran rumah tangga adalah hal biasa. Tidak ada yang aneh apabila suami melakukan pekerjaan rumah tangga, sementara istri mencari nafkah.Â
Yang penting, baik suami atau istri saling memahami peran masing-masing. Istri masih menghormati peran suami sebagai kepala keluarga. Sementara suami memahami peran istri yang jadi penyangga nafkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H