Setiap kali saya memungut selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membaca shalawat kepadanya."
***
Kisah ini diceritakan Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Rindu Rasul. Melalui kisah ini, Kang Jalal menggambarkan bagaimana nenek itu mengungkapkan cintanya kepada Rasulullah dalam bentuknya yang tulus, sekaligus ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal di hadapan Tuhan. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spritual yang luhur.
Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung kepada rahmat Allah dan syafaat Rasul-Nya. Dan -dalam Islam- siapa lagi yang dapat memberi syafaat dan menjadi rahmat bagi semua insan selain Rasulullah SAW?.
Nenek itu adalah gambaran dari mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Mereka menjalankan perintah agamanya dengan penuh keterbatasan ilmu. Mereka tidak mengetahui dalil-dalil dari Al  Quran dan Hadis. Namun mereka mencintai Nabi-nya. Dengan segala keterbatasan itu mereka hendak menunjukkan kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Mungkin saking cintanya kepada Rasulullah SAW (dengan keterbatasan ilmu), tak jarang kecintaan mereka ini melebihi batas kewajaran dan batas keimanan.
Di acara pengajian di kampung-kampung dalam rangka menyambut Maulid Nabi, kita sering mendengar para mubaligh dengan bersemangat bercerita,
"Ketika Nabi lahir, berguncang singgasana kaisar, berjatuhan berhala-berhala, padamlah api yang disembah bangsa Persia..."
"Beliau lahir dalam keadaan bercelak mata, putus tali pusarnya, sudah dalam keadaan dikhitan bahkan dapat melihat dari pundaknya...."
Keajaiban-keajaiban ini -seandainya benar- memang luar biasa, tetapi tidak menambah kepercayaan orang beriman. Benar, Rasulullah SAW adalah manusia istimewa, baik secara lahir maupun batin. Tetapi melukiskan situasi dan keadaan beliau saat lahir seperti itu menjadikan Nabi Muhammad tidak seperti manusia lagi.
Kekaguman yang berlebihan tidak jarang mengantarkan kita kepada sikap tidak adil atau tidak beradab. Bahkan condong pada pengultusan individu. Sikap mengultuskan pribadi seseorang ini malah bisa mendekatkan orang tersebut pada kekufuran.