Setahun Jokowi-Ma'ruf, pasangan presiden dan wakil presiden ini praktis hanya menikmati masa bulan madu 3 bulan saja. Selebihnya, pemerintahan periode kedua Jokowi harus bekerja keras mengatasi pandemi Covid-19.
Bagaimana kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tahun pertama?
Mengutip nilai yang diberikan Rocky Gerung, nilainya A minus (-). A untuk kebohongan dan minus (-) untuk kejujuran.
Pemerintah Ibarat Pinokio yang Berbohong Instruktif
Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ibarat Pinokio yang melakukan serangkaian kebohongan bersifat instruktif. Satu kebohongan dibuat untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
"Kebohongan, bocahku yang terkasih, segera ditemukan, karena mereka ada dua macam. Ada kebohongan yang memiliki kaki pendek, dan kebohongan yang memiliki hidung panjang. Kebohonganmu, seperti yang terjadi, adalah salah satu dari mereka yang memiliki hidung panjang, " kata Peri kepada Pinokio yang menangis dan memohon hidungnya dikembalikan normal setelah ketahuan berbohong.
Kebohongan yang memiliki kaki pendek adalah kebohongan yang bisa memberi kita sedikit jarak, tetapi tidak bisa berlari lebih cepat dari kebenarannya. Maksudnya, kita segera menyadari bahwa lebih baik mengatakan yang sejujurnya daripada mempertahankan kebohongan tersebut.
Sementara kebohongan yang memiliki hidung panjang adalah kebohongan yang membuat pembohongnya terlihat konyol. Sudah ketahuan berbohong, tapi ia mempertahankannya dengan membuat kebohongan yang lain. Dengan kata lain, ini adalah kebohongan yang tidak masuk akal. Seperti yang dilakukan Pinokio.
Kiranya saya tak perlu memutar kaset digital untuk memperlihatkan ulang bentuk-bentuk kebohongan pemerintah kepada rakyatnya. Kita sudah cerdas untuk mencari jejak digital yang tersebar di dunia maya.
Arogansi dan Gagap Menghadapi Pandemi Covid-19
Selain mendapat A(-) untuk kebohongan dan kejujuran, satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf juga menampakkan arogansi dan kegagapan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Sejak awal, pemerintah kita terlalu meremehkan pandemi Covid-19. Saling silang pernyataan antar pejabat pemerintah juga menjadi bukti Presiden Jokowi tidak mampu meyakinkan para pembantunya sendiri.
Tentu kita masih ingat pernyataan Menkes Terawan maupun Menkopolhukam Mahfud MD yang meminta masyarakat tidak mempercayai hoaks adanya virus corona di Indonesia. Kita masih ingat pula pernyataan beberapa pejabat pemerintah yang mengatakan orang Indonesia itu 'kebal' virus corona, dan bahwa pandemi Covid-19 tak akan berumur panjang di Indonesia. Entah berapa banyak ingatan yang harus kita kubur hanya karena kita masih ingin menghargai pemerintah kita sendiri.
Kegagapan pemerintah dalam menangani pandemi sudah muncul bersamaan dengan terkuaknya kasus positif pertama di Indonesia. Polemik apakah kita harus menerapkan karantina wilayah (lockdown) terus mencuat, sementara kasus positif Covid-19 semakin meningkat.
Begitu pula dengan program-program penunjang antisipasi dampak pandemi Covid-19. Program Kartu Prakerja terpaksa harus dilahirkan prematur, dengan konsep yang katanya 'disesuaikan' dengan pandemi Covid-19: serba online.
Akibatnya, program Kartu Prakerja dinilai banyak pihak sangat tidak tepat sasaran dan hanya buang-buang anggaran. Bentuk pelatihan yang disediakan pemerintah melalui mitra pelatihan dianggap tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat terdampak pandemi, khususnya pekerja yang terkena PHK.
Sudah begitu, pemerintah dituding tidak transparan dalam menunjuk mitra pelatihan. Ruang Guru, salah satu mitra pelatihan dianggap memiliki konflik kepentingan karena CEO Ruang Guru, Belva Devara menjadi staf khusus milenial Presiden Jokowi.
Begitu pula dengan UU Cipta Kerja yang 'terpaksa' dilahirkan lebih cepat, konon katanya untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19. Dengan proses pengesahan yang super kilat dan serba rahasia hingga draf UU-nya saja bisa berbeda-beda.
Komunikasi Massa Lebih Banyak Diserahkan Pada Pendengung
Dalam hal komunikasi massa, pemerintah juga masih mementingkan pencitraan. Kritik terhadap kebijakan pemerintah ditanggapi dengan jutaan kicauan dari para pendengung yang melambungkan puji-pujian setinggi langit. Seolah rakyat harus dipaksa menelan mentah-mentah apapun yang dilakukan pemerintah tanpa diperbolehkan mengeluarkan suara.
Apa yang dianggap kebenaran oleh rakyat, diputarbalikkan menjadi hoaks oleh pemerintah.
"Kalau pemerintah bilang hoaks, versi pemerintah, ya dia hoaks."
Mungkin, kutipan ini akan dikenang sepanjang masa sebagai bentuk arogansi pemerintahan Jokowi di periode keduanya.
Pandemi Covid-19 mungkin merupakan ujian terbesar kepemimpinan politik dunia yang pernah kita saksikan. Setiap pemimpin negara di planet ini menghadapi potensi ancaman yang sama. Setiap pemimpin bereaksi berbeda, dengan gayanya sendiri. Dan setiap pemimpin akan dinilai berdasarkan hasilnya.
Indonesia memang bergelimang pejabat, tapi miskin pemimpin yang berjiwa pemenang. Dalam hal kepemimpinan selama pandemi Covid-19, sepatutnya hal ini dilihat dari sudut pandang kemanusiaan. Bukan menjadi piranti untuk menaikkan posisi tawar atau hitung-hitungan untung rugi investasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H