Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerima dua permohonan uji materi.
Di saat mahasiswa dan beberapa elemen organisasi buruh masih menolak UU Cipta Kerja lewat jalan demonstrasi,"Sudah ada dua permohonan diajukan, tidak tertutup kemungkinan, jumlah permohonan bertambah," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso, Rabu (14/10/2020).
Permohonan uji materi yang pertama diajukan dua orang pegawai kontrak atas nama Dewa Putu Reza dan Ayu Putri. Keduanya menyoal Pasal 59; Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 78 ayat (1) huruf b; dan Pasal 79 ayat (2) huruf b klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Pasal-pasal yang dipersoalkan tersebut terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pesangon, dan pengupahan yang layak.
Dalam gugatannya, Dewa Putu Reza dan Ayu Putri berpendapat pasal-pasal yang digugat tersebut mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil bagi para pekerja. Seperti aturan mengenai penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).Â
Dengan meniadakan batas waktu PKWT, negara telah menghalangi pekerja kontrak untuk dapat menjadi pekerja tetap yang berhak atas pemberian pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.Â
Karena itu, para pemohon meminta agar MK menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Gugatan terhadap pasal yang sama juga diajukan Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) yang diwakili Ketua Umum Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafiz.Â
Dalam gugatannya, DPP FSPS menilai berubahnya ketentuan tersebut merugikan hak buruh. Untuk itu, DPP FSPS meminta MK agar pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dapat 'Hadiah' Dari Pemerintah, Independensi MK Diragukan
Uji materi di Mahkamah Konstitusi menjadi jalan terakhir bagi pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja. Menggelar aksi demonstrasi jelas bukan pilihan yang bijak mengingat negara kita masih dibayangi pandemi Covid-19, dan cara ini juga rawan menimbulkan konflik horizontal.
Meski begitu, bila rakyat menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkaham Konstitusi, rakyat diprediksi sulit menang. Menurut pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, independensi Mahkamah Konstitusi saat ini diragukan menyusul adanya 'hadiah' dari pemerintah.
'Hadiah' yang dimaksud berupa pengesahan revisi UU MK menjadi UU pada 1 September 2020 lalu. Salah satu aturan dari revisi UU MK adalah memperpanjang masa jabatan semua hakim MK yang saat ini menjabat hingga usia 70 tahun.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!