Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seandainya Harmoko yang Jadi Menkominfo

16 Oktober 2020   07:06 Diperbarui: 16 Oktober 2020   07:27 1704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko yang bisa menentukan mana informasi yang patut didengarkan masyarakat (foto: Kompas/J.B. Suratno)

Mau tidak mau, saat mendengar langsung pernyataan Menkominfo Jhonny G. Plate di acara Mata Najwa pada Rabu (14/10) kemarin yang terkesan otoriter membuat saya membandingkan Menkominfo yang sekarang dengan Menteri Penerangan era Orde Baru, Harmoko.

Ternyata saya tidak sendirian. Banyak netizen yang juga membandingkannya. Bukan tentang tugas, kewenangan maupun kebijakan keduanya. Melainkan lebih pada sikap dan respon Menkominfo Jhonny G. Plate dengan sikap seorang Harmoko saat menjabat Menteri Penerangan. Di luar itu, keduanya dinilai tidak jauh berbeda.

Sekilas Mengenal Harmoko, Sang Penyambung Lidah Soeharto

Selama 14 tahun sejak menggantikan Ali Moertopo sebagai Menteri Penerangan, tak pernah sekalipun Harmoko mengeluarkan pernyataan dengan nada tinggi dan setengah memaksa. Pembawaannya yang tenang dengan senyum cerah menghiasi wajah kerap disaksikan pemirsa televisi usai acara Dunia Dalam Berita.

Diawali kalimat pembuka "Atas petunjuk Bapak Presiden", setiap kali Harmoko tampil di televisi pemirsa sudah bisa menebak: pasti pak Harmoko akan menjelaskan keputusan/kebijakan baru dan penting dari pemerintah yang diputuskan Presiden Soeharto. Dengan nada datar dan senyum yang terus mengembang, Harmoko lantas menyampaikan sederet pengumuman. Mulai dari keputusan dan kebijakan pemerintah (lebih tepatnya kebijakan Presiden Soeharto) tentang masalah politik dan keamanan, hingga kestabilan harga barang-barang kebutuhan pokok di pasar-pasar.

Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko saat itu punya kekuasaan yang luas. Tak hanya berwenang mengeluarkan ijin baru penerbitan yang dikenal sebagai SIUPP, tapi tugas utama Departemen Penerangan adalah "membina Pers". Tangan Harmoko mengendalikan pemberitaan dan menentukan hidup matinya koran atau majalah.

Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko melakukan tugas itu dengan sempurna. Dengan kewenangan yang nyaris tak terbatas untuk menyebarluaskan informasi pemerintah kepada masyarakat, Harmoko yang bisa menentukan mana informasi yang patut didengarkan masyarakat.

Dikutip dari Majalah Tempo, wartawan senior yang juga mantan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara, Muhamad Chudori bercerita bagaimana setiap bulan Harmoko memanggil para pemimpin redaksi untuk mendengarkan wejangannya selama berjam-jam.

"Harmoko akan berbicara tentang beberapa hal yang disampaikan oleh Presiden Soeharto kepadanya. Dia meneruskan petunjuk itu kepada kami (para pemimpin redaksi)".

Media pemerintah seperti RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara bahkan menerima briefing setiap minggu.

"Kami diberi tahu mana yang boleh, mana yang tidak boleh dimuat atau disiarkan," lanjut Chudori. "Salah satunya adalah jangan memberitakan apapun yang negatif tentang Soeharto dan keluarganya."

Dengan model komunikasi searah, tak salah apabila di kalangan pers Harmoko kemudian dijuluki sebagai Dewa Pers dan "Penyambung Lidah Soeharto". Peran Harmoko tak ubahnya Dewa Hermes dalam mitologi Yunani.

Di luar sikap otoriter pemerintah Orde Baru, salah satu kunci kesuksesan Harmoko mengendalikan informasi di telinga rakyat adalah "ide briliannya' dengan mencetuskan gerakan Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan). Gerakan ini dimaksudkan Harmoko sebagai alat untuk menyebarkan informas dari pemerintah hingga ke lingkup kelompok masyarakat terkecil dan terpencil.

Dari Departemen Penerangan Menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika

Setelah kekuasaan Soeharto tumbang di tangan rakyat, hilang pula fungsi dan kewenangan Departemen Penerangan. Pada masa kepemimpinannya, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membubarkan Departemen Penerangan dengan alasan efisiensi dan perampingan kabinet.

Pengganti Gus Dur, Presiden Megawati kemudian menghidupkan kembali Departemen Penerangan dengan nama yang berbeda, tapi tugas pokoknya hampir sama. Pada 2001, Presiden Megawati membentuk Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi dengan pejabat menterinya adalah Syamsul Mu'arif. Bersamaan dengan pembentukan kementerian baru ini, lahir pula Lembaga Informasi Nasional (LIN) yang melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pelayanan informasi nasional.

Oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi beserta LIN dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi digabung menjadi satu dengan nama Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, Depkominfo diubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika, seperti sekarang.

Di era kebebasan pers dan keterbukaan informasi, tugas dan wewenang Kemenkominfo tak lagi sama dengan Departemen Penerangan jaman Orba. Pada masa ini, sebagian besar tugas dan wewenang Menkominfo menitikberatkan pada teknologi komunikasi dan informatika. Sementara tugas sebagai "penyambung lidah presiden/pemerintah" kini sudah diambil alih buzzer-buzzer yang selalu mendengungkan puji-pujian kepada pemerintah.

Tugas Berat Kemenkominfo di Era Digital

Sekalipun begitu, bukan berarti KemenKominfo tidak mengurusi masalah komunikasi dan informasi dari pemerintah kepada rakyatnya. Justru, bagian inilah yang menjadi tanggung jawab paling berat.

Derasnya arus informasi yang masuk ke masyarakat membuat Kemenkominfo harus bekerja ekstra keras untuk memastikan masyarakat benar-benar mengonsumsi informasi yang baik dan benar.  Hoaks dan disinformasi yang bertebaran di linimasa media sosial membuat Kemenkominfo sampai membuat mesin khusus AIS, dari kata PengAis Konten.

Mesin senilai Rp 211 miliar itu digunakan Kominfo dalam memerangi konten negatif di internet. Mesin Ais ini merupakan senjata dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam memerangi konten negatif di internet. Ais akan beraksi menghadapi hoax, ujaran kebencian, pornografi, terorisme, radikalisme, hingga perjudian. Sayangnya, mesin yang berharga ratusan miliar rupiah ini ternyata tak mampu membendung hoaks seputar RUU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Seandainya Harmoko yang Jadi Menkominfo

Saya membayangkan, seandainya Harmoko jadi Menkominfo, jauh-jauh hari sebelum RUU Cipta Kerja disahkan DPR RI, dia akan memanggil para pemimpin redaksi media nasional. Dalam suasana yang lebih mirip monolog daripada dialog, Harmoko akan menyampaikan poin-poin penting dari RUU tersebut yang berpotensi menimbulkan hoaks.

Kemudian Harmoko akan sering tampil di layar televisi, kanal YouTube dan mungkin pula melalui video singkat di TikTok atau IGTV. Dengan gayanya yang kalem, didahului kalimat "Atas petunjuk Bapak Presiden", Harmoko lalu menjelaskan secara singkat dan padat apa manfaat Omnibus Law bagi terciptanya lapangan kerja untuk masyarakat.

Menkominfo Jhonny G. Plate memang bukan tipikal seorang Harmoko yang tenang dan kalem. Tapi caranya mengendalikan informasi, menentukan mana yang fakta dan mana yang dusta hampir mirip dengan cara yang dilakukan Harmoko. Alih-alih introspeksi mengapa hoaks Omnibus Law muncul hingga menyebabkan terjadinya aksi demonstrasi yang berlarut-larut hingga sekarang, Menkominfo memilih jurus yang tak jauh beda seperti yang dilakukan Harmoko dan pemerintah Orde Baru: otoriter. 

Pernyataannya mengenai definisi hoaks sampai sekarang masih terngiang di telinga netizen. "Kalau pemerintah sudah bilang, versi pemerintah, itu hoaks, ya dia hoaks. Kenapa harus membantah lagi?"

Sedikit yang membedakan cara komunikasi pemerintah sekarang dengan pemerintah Orde Baru adalah waktu penyampaian informasi. Bila Harmoko menyampaikan informasi kebijakan pemerintah secara luas dan masif sebelum kebijakan itu menyentuh tangan rakyat, lain halnya dengan pemerintah sekarang.

Penjelasan mengenai Omnibus Law baru gencar dilakukan melalui ketikan jari tangan para pendengung di media sosial setelah RUU ini disahkan DPR dan aksi demonstrasi meletus di beberapa daerah hingga mengakibatkan korban berjatuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun