Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Campur Tangan Jenderal Nasution di Balik Jatuhnya Soekarno (Bagian 3)

30 September 2020   20:25 Diperbarui: 1 Oktober 2020   16:11 4483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasution, Soekarno dan Soeharto saat bertemu di Istana Merdeka (foto: Perpusnas RI)

"Kalau Nasution mendalangi kejatuhan Soekarno, mengapa malah Soeharto yang berkuasa usai pemberontakan G30S/PKI?" tanya Burhan.

"Inilah yang kusebut sebagai 'ketiban sampur'. Baik Nasution maupun Soeharto tak pernah terbersit keinginan untuk mengudeta Soekarno lalu menggantikannya berkuasa. Peristiwa Gerakan 30 September akhirnya mengubah jalannya sejarah. Jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto keduanya tak lepas dari campur tangan Nasution.

Setelah lolos dari upaya penculikan dan berhasil menggagalkan kudeta berdarah terhadap pimpinan tinggi Angkatan Darat, nama Nasution bersama Soeharto berkibar di hati rakyat Indonesia. Meski begitu, Nasution sendiri tak hendak mengambil kesempatan, sekalipun kesempatan itu terbuka sangat lebar. Kondisi batin Nasution masih terluka atas kematian putrinya Ade Irma Suryani yang meninggal pada 6 Oktober 1965 di RSPAD setelah menjalani operasi pengangkatan sisa peluru yang terakhir. 

Nasution bisa saja mengambil alih kendali Angkatan Darat sekaligus kendali pemerintahan mengingat posisinya sebagai Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, ditambah posisi Soekarno dan PKI yang terjepit pasca Gerakan 30 September. Namun Nasution tak hendak melangkahi wewenang Panglima Tertingginya, Presiden Soekarno.

Dalam dua minggu pertama setelah G30S, Nasution malah terus membujuk Soekarno agar bersedia menunjuk Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Semula, Soekarno ngotot menginginkan Mayjen Pranoto, salah seorang petinggi Angkatan Darat yang loyal kepadanya, menggantikan Ahmad Yani. Soeharto sendiri oleh Soekarno hendak diplot sebagai Panglima Kopkamtib.

Terus menerus dibujuk, Soekarno akhirnya luluh juga. Pada 14 Oktober 1965, Soeharto ditunjuk sebagai pimpinan Angkatan Darat dan secara resmi menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Februari 1966 saat pembentukan Kabinet Dwikora II atau yang dikenal sebagai Kabinet 100 Menteri," jelas Alim.

"Lalu, bagaimana dengan Nasution sendiri?" tanya Karto.

"Setelah PKI gagal menyingkirkan Nasution, Soekarno menyadari posisi Nasution semakin kuat. Benar Nasution tidak memiliki kekuasaan, tapi dia sudah memenangkan hati rakyat. Untuk itu, beberapa loyalis Soekarno berencana memutus langkah Nasution dengan menawarinya jabatan Wakil Presiden yang saat itu sedang kosong sejak mundurnya Muhammad Hatta pada 1 Desember 1956, ketika Soekarno mulai menjalankan demokrasi terpimpin.

Tapi Nasution menolak tawaran tersebut. Selain masih berduka atas kehilangan putrinya, Nasution merasa jika ia jadi Wapres maka Soekarno akan terus memimpin. Jika Soekarno tetap memimpin, Nasution khawatir PKI akan bangkit kembali dan situasi politik maupun keamanan di Indonesia semakin tidak terkendali.

Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Soekarno tanpa harus ada pertumpahan darah kembali adalah melalui MPRS. Nasution melihat bahwa Soekarno telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup oleh MPRS, maka hanya MPRS saja yang dapat mencabut keputusan tersebut sekaligus melengserkannya. Pada Maret 1966, Nasution akhirnya berhasil menjadi Ketua MPRS," jelas Alim melanjutkan ceritanya.

Karto dan Burhan terdiam, mencoba merekaulang sepak tejang Jenderal Nasution dalam peristiwa G30S dan sesudahnya.

"Aku masih bingung, Lim. Berhubung kamu menyinggung bulan Maret 1966, itu kan saat di mana Soekarno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kepada Soeharto. Nah, selentingan yang beredar, Soekarno merasa dipaksa menandatangani surat itu oleh Soeharto. Ada beberapa versi yang menyebabkan peristiwa bersejarah itu kabur. Mengapa kok Soeharto? Dan bukan Nasution seperti teorimu yang mengatakan ada campur tangannya di balik kejatuhan Soekarno?

Alim menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan penuturannya.

"Ya, harus kita akui hilangnya naskah asli Supersemar yang "terkubur" bersama dengan meninggalnya 3 jenderal pembawa Supersemar (M. Jusuf,  Amirmachmud dan Basuki Rahmat ) serta Soeharto sendiri membuat lubang yang cukup besar dalam kronologi jatuhnya kekuasaan Soekarno.  

Dalam Supersemar versi Angkatan Darat, di poin kesatu Soeharto diberi wewenang 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan...'. Sedangkan dalam Supersemar versi lain yang diklaim asli, tidak ada poin tersebut. Dari 4 poin dalam Supersemar versi non Angkatan Darat, Soeharto diperintahkan untuk berkoordinasi dengan panglima-panglima lainnya dan (hanya) mengambil tindakan pengamanan untuk menjamin keselamatan Presiden serta 'melestarikan ajaran Presiden. Satu kesaksian dibantah kesaksian lainnya, membuat sejarah Supersemar hampir mustahil terungkap," jawab Alim.

"Yang aku tanyakan itu mengapa bukan Nasution yang menerima Supersemar? Kok Soeharto?" tanya Burhan. 

Mendengar pertanyaan tersebut, Alim tersenyum. 

"Makanya, Han, banyaklah membaca. Setelah menolak tawaran menjadi Wapres, Nasution dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan Kabinet Dwikora I menjadi Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (posisi ini dijabat Mayjen Sarbini). Praktis, sejak 24 Februari 1966 (pelantikan kabinet Dwikora II) Nasution tidak memegang jabatan apapun di pemerintahan Soekarno."

"Nah, kamu sendiri mengakui kalau Soeharto punya peran sentral dalam peristiwa Supersemar, sementara Nasution sendiri praktis tidak berbuat apa-apa dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu dimana letak campur tangan Nasution seperti yang kamu katakan tadi?" tanya Burhan.

"Disinilah letak kecerdikan Nasution. Meski sudah tidak menjabat apa-apa, Nasution tetap disegani dan dihormati oleh banyak petinggi militer, termasuk Soeharto sendiri.

Ketika Soekarno menerima laporan adanya "pasukan misterius" saat sidang kabinet Dwikora II yang hendak menangkap menteri-menteri  terduga ikut serta dalam G30S, Soeharto mengutus 3 jenderal untuk menemui Soekarno yang mengungsi ke Istana Bogor. Lewat 3 jenderal itu, Soeharto memberi jaminan mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.

Sebelum berangkat ke markas Kostrad untuk menunggu surat perintah dari Soekarno, Soeharto menyempatkan diri menelpon Nasution dan meminta restu atas tindakannya tersebut. Restu diberikan Nasution melalui istrinya yang menerima telpon Soeharto.

Nasution lah yang pertama kali menyadari Supersemar itu lebih dari surat perintah biasa. Indra politik Nasution memberi isyarat bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif.

Dengan Supersemar itu, Soeharto langsung membubarkan PKI keesokan harinya (12 Maret 1966). Nasution kemudian menghubungi Soeharto dan menyarankan bahwa berbekal Supersemar, Soeharto juga dapat menyusun kabinet darurat.

Tapi Soeharto tidak mau gegabah. Supersemar memang memberinya kekuasaan dan wewenang yang hampir tak terbatas. Namun dia memilih untuk berhati-hati karena bagaimanapun juga, Soekarno masih sah menjabat sebagai presiden dan pembentukan kabinet merupakan tanggung jawab presiden. Sekalipun Nasution terus mendorong dan berjanji akan memberikan dukungan penuh."

"Aku kok masih belum ketemu bentuk campur tangan Nasution untuk menjatuhkan kekuasaan Soekarno?" tanya Karto.

"Ya memang belum sampai ke momen puncaknya, To. Ceritaku kan belum selesai," kata Alim menanggapi kebingungan temannya.

"Ya wis, lanjutkan ceritamu kalau begitu,."

"Jadi, berbekal Supersemar Soeharto langsung melakukan operasi pembersihan di tubuh pemerintahan Soekarno. Setelah membubarkan PKI, pada 18 Maret 1966 Soeharto menangkap 15 menteri kabinet Dwikora II yang dicurigai terlibat G30S/PKI.

Setelah itu, Soeharto membidik anggota MPRS. Beberapa anggota MPRS yang dianggap simpatisan komunis dicopot dan diganti dengan orang-orang yang lebih bersimpati terhadap tujuan militer. Termasuk di antaranya adalah ketua MPRS sendiri, Chaerul Saleh yang juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri III. Chaerul Saleh dianggap sebagai menteri yang mendukung kebijakan Soekarno yang pro-komunis.

Padahal, pada 1964 Chaerul Saleh pernah mengeluarkan dokumen berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini" yang menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap presiden. Pimpinan PKI, D.N. Aidit dalam pertemuan partai politik di Bogor membantah dokumen tersebut dan menuduh Chaerul Saleh sebagai antek Nekolim. Setelah ditangkap, Chaerul Saleh dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan hingga ia meninggal dunia pada 8 Februari 1967.

Ada dugaan, ditangkapnya Chaerul Saleh bertujuan untuk menempatkan Nasution ke kursi ketua MPRS. Dengan begitu, Nasution bisa dengan mudah mempreteli kekuasaan Soekarno. Setelah Chaerul Saleh ditangkap, kursi ketua MPRS pun kosong. Semua fraksi MPRS akhirnya sepakat menunjuk Nasution sebagai ketua yang baru," jelas Alim.

Bersambung ke Bagian 4 (tamat)

***

Sebelumnya: Bagian 1 dan Bagian 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun