Sebelum berangkat ke markas Kostrad untuk menunggu surat perintah dari Soekarno, Soeharto menyempatkan diri menelpon Nasution dan meminta restu atas tindakannya tersebut. Restu diberikan Nasution melalui istrinya yang menerima telpon Soeharto.
Nasution lah yang pertama kali menyadari Supersemar itu lebih dari surat perintah biasa. Indra politik Nasution memberi isyarat bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif.
Dengan Supersemar itu, Soeharto langsung membubarkan PKI keesokan harinya (12 Maret 1966). Nasution kemudian menghubungi Soeharto dan menyarankan bahwa berbekal Supersemar, Soeharto juga dapat menyusun kabinet darurat.
Tapi Soeharto tidak mau gegabah. Supersemar memang memberinya kekuasaan dan wewenang yang hampir tak terbatas. Namun dia memilih untuk berhati-hati karena bagaimanapun juga, Soekarno masih sah menjabat sebagai presiden dan pembentukan kabinet merupakan tanggung jawab presiden. Sekalipun Nasution terus mendorong dan berjanji akan memberikan dukungan penuh."
"Aku kok masih belum ketemu bentuk campur tangan Nasution untuk menjatuhkan kekuasaan Soekarno?" tanya Karto.
"Ya memang belum sampai ke momen puncaknya, To. Ceritaku kan belum selesai," kata Alim menanggapi kebingungan temannya.
"Ya wis, lanjutkan ceritamu kalau begitu,."
"Jadi, berbekal Supersemar Soeharto langsung melakukan operasi pembersihan di tubuh pemerintahan Soekarno. Setelah membubarkan PKI, pada 18 Maret 1966 Soeharto menangkap 15 menteri kabinet Dwikora II yang dicurigai terlibat G30S/PKI.
Setelah itu, Soeharto membidik anggota MPRS. Beberapa anggota MPRS yang dianggap simpatisan komunis dicopot dan diganti dengan orang-orang yang lebih bersimpati terhadap tujuan militer. Termasuk di antaranya adalah ketua MPRS sendiri, Chaerul Saleh yang juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri III. Chaerul Saleh dianggap sebagai menteri yang mendukung kebijakan Soekarno yang pro-komunis.
Padahal, pada 1964 Chaerul Saleh pernah mengeluarkan dokumen berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini" yang menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap presiden. Pimpinan PKI, D.N. Aidit dalam pertemuan partai politik di Bogor membantah dokumen tersebut dan menuduh Chaerul Saleh sebagai antek Nekolim. Setelah ditangkap, Chaerul Saleh dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan hingga ia meninggal dunia pada 8 Februari 1967.
Ada dugaan, ditangkapnya Chaerul Saleh bertujuan untuk menempatkan Nasution ke kursi ketua MPRS. Dengan begitu, Nasution bisa dengan mudah mempreteli kekuasaan Soekarno. Setelah Chaerul Saleh ditangkap, kursi ketua MPRS pun kosong. Semua fraksi MPRS akhirnya sepakat menunjuk Nasution sebagai ketua yang baru," jelas Alim.