Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Tengah Gencarnya Isu PKI, Kita Melupakan Jasa Pahlawan Ampera

26 September 2020   07:45 Diperbarui: 30 April 2021   19:48 6070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arif Rahman Hakim memimpin mahasiswa menyanyikan lagu-lagu patriotik saat aksi demonstrasi 24 Februari 1966 (foto: spaarnestadphoto.com/UPI)

Setiap kali ada yang bertanya siapa pahlawan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), ingatan kita selalu tertuju pada satu nama: Arif Rahman Hakim. Mahasiswa tingkat empat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini gugur terkena tembakan peluru (yang diduga) dari Pasukan Tjakrabirawa pada 24 Februari 1966. Ketika itu, Arif bersama ribuan mahasiswa dan pelajar berdemonstrasi  hendak menggagalkan acara pelantikan anggota kabinet Dwikora II yang diumumkan Presiden Sukarno tiga hari sebelumnya.

Gugurnya Sang Martir Arif Rahman Hakim

Sewaktu gelombang mahasiswa sudah semakin dekat ke Istana Negara, terdengar rentetan tembakan ke arah kerumunan demonstran. Keadaan pun menjadi panik. Akibatnya, beberapa demonstran mengalami luka serius. Usai situasi sedikit mereda, barulah para mahasiswa dan pelajar yang berdemonstrasi mendengar kabar bahwa dua rekan mereka sudah gugur: Arif Rahman Hakim dan Zubaedah, siswi anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ikut berdemonstrasi.

Jenazah keduanya dimakamkan keesokan harinya. Sebelum dikebumikan, jenazah Arif Rahman Hakim bahkan diarak secara besar-besaran dari Universitas Indonesia hingga Kebayoran. Soeharto dan A.H. Nasution sampai mengirimkan karangan bunga sebagai ungkapan duka cita. Dalam buku Soe Hok-Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual, penulis John Maxwell mengatakan hari itu "gerakan mahasiswa [Indonesia] baru saja melahirkan martir pertamanya".

Hasanuddin Haji Madjedi, Pahlawan Ampera yang Pertama Kali Gugur

Apa yang dicatat John Maxwell tidak sepenuhnya tepat. Martir pertama gerakan mahasiswa Indonesia bukan Arif Rahman Hakim, melainkan Hasanuddin Haji Madjedi. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat ini gugur setelah terkena tembakan oknum tentara Batalyon K Kodam Diponegoro Jawa Tengah yang di-BKO-kan di Banjarmasin pada 10 Februari 1966, dua minggu sebelum pecahnya demonstrasi di Istana Negara yang mengakibatkan gugurnya Arief Rahman Hakim.

Ketika itu, Asan, panggilan akrab H.M Madjedi, ikut larut dalam arus demonstrasi ribuan mahasiswa di Konsulat Republik Rakyat Tjina (RRT) Banjarmasin. Kantor Konsulat RRT jadi sasaran demonstran karena diduga menjadi beking para tengkulak atau cukong sembako yang membuat harga-harga pangan melambung tinggi.

Demonstrasi yang semula berjalan lancar ini berubah menjadi kericuhan, hingga pasukan BKO dari Batalyon K Kodam Diponegoro Jawa Tengah yang berjaga-jaga di kawasan Pasar Baru dan Pasar Sudimampir Banjarmasin mengarahkan tembakan senapannya ke arah demonstran. Satu peluru dari oknum tentara itu bersarang di pinggang belakang Asan, hingga nyawanya tidak tertolong.

Mungkin karena peristiwa gugurnya Hasanuddin Haji Madjedi itu tidak terjadi di ibukota, riaknya tidak terlihat dan belum membawa pengaruh besar terhadap gerakan mahasiswa Indonesia saat itu. Sebaliknya, gugurnya Arief Rahman Hakim membawa dampak yang luar biasa, hingga mampu mengubah persepsi mahasiswa tentang rangkaian aksi demonstrasi yang mereka lakukan sebelumnya. Mengutip tulisan John Maxwell, 

"...kali ini semua orang [...] menyadari mereka tengah melakukan perjuangan serius dan mematikan yang melibatkan konfrontasi dengan Soekarno sendiri".

Gugurnya Hasanuddin Haji Madjedi boleh dianggap tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap gerakan mahasiswa di tahun 1966. Namun namanya abadi bersama banyak mahasiswa dan pelajar lain yang gugur saat memperjuangkan Amanat Penderitaan Rakyat pasca gagalnya pemberontakan G30S/PKI. Mereka yang gugur saat berdemonstrasi memperjuangkan Tritura (Tiga Tuntuan Rakyat: bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora dan penurunan harga pokok) dikenang sebagai Pahlawan Ampera.

Mereka yang Ikut Gugur Dalam Mengawal Tritura

Seperti yang saya kemukakan di awal, selama ini kita praktis hanya mengenal Pahlawan Ampera pada sosok Arif Rahman Hakim saja. Padahal, ada beberapa nama lain - seperti halnya H.M Madjedi yang tidak kita ketahui dengan baik -- yang juga gugur dalam aksi gerakan mahasiswa tahun 1966 dan layak menyandang gelar Pahlawan Ampera juga.

Kecil kemungkinan kita kenal sederet nama berikut: Julius Usman (mahasiswa Fakutas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, gugur tanggal 18 Agustus 1966); Aris Munandar (siswa SMP Muhammadiyah X Yogyakarta) dan Arif Margono (pelajar SPG Muhammadiyah I Yogyakarta), keduanya gugur tanggal 10 Maret 1966.

Berikutnya ada Syarif Al Kadri, mahasiswa Ujung Pandang yang gugur tanggal 25 Februari 1966; Ikhwan Ridwan Rais, pelajar di Jakarta berusia 14 tahun yang terkena peluru nyasar saat ikut demonstrasi menuntut pembebasan Husni Thamrin yang ditahan pemerintah Soekarno.

Juga ada nama Zainal Zakse, wartawan harian KAMI yang dianiaya oleh pasukan pengawal Istana saat meliput aksi peringatan gugurnya Pahlawan Revolusi pada 1 Oktober 1966. Zainal Zakse meninggal dunia pada 8 Mei 1967 usai menjalani perawatan akibat luka-luka penganiayaan yang dideritanya.

Di luar nama-nama tersebut, masih ada Zubaedah yang gugur bersamaan dengan Arief Rahman Hakim.  Lalu ada Yusuf Hasim dan Dicky Oroh, keduanya pelajar di Manado gugur pada 31 Maret 1966. Tercatat pula dalam tinta emas sejarah nama Mohd. Syafi 'i, pelajar di Jakarta yang gugur tanggal 9 Mei 1966 dan Ahmad Karim, siswa STM Bukittinggi yang gugur pada 11 Desember 1966.

Semua nama yang tersebut di atas adalah mahasiswa dan pelajar yang perjuangan dan kepahlawanannya dalam mengawal Tritura dan memperjuangkan Amanat Penderitaan Rakyat sama besarnya dengan pengorbanan Arif Rahman Hakim. Mereka semua dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai pejuang yang membela hak-hak rakyat dan dan layak menyandang gelar Pahlawan Ampera. Sebagaimana yang termaktub dalam Tap MPRS No XXIX/1966 tentang Penetapan Pahlawan Ampera,

"Setiap korban perjuangan dalam menegakkan dan melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat dalam melanjutkan pelaksanaan Revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah Pahlawan Ampera."

Di tengah gencarnya propaganda saat ini yang mempertanyakan urgensi dan sensitivitas isu PKI setiap bulan September, marilah kita mengenang kembali para pahlawan Ampera yang hampir kita lupakan. Bagaimanapun juga, mereka sudah berjasa mengubah arah perjalanan bangsa kita. Para Pahlawan Ampera itu, bersama eksponen angkatan 66 lainnya yang terdiri dari mahasiswa, pelajar hingga sarjana  dan elemen masyaraakat lainnya sudah berjuang meluruskan arah dan tujuan bangsa Indonesia yang diselewengkan Orde Lama dan Partai Komunis Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun