Baru 4 hari, Presiden Jokowi sudah "merevisi" kebijakannya. Sebelumnya pada Senin (7/9) dalam rapat kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Presiden Jokowi mengingatkan bahaya yang mengancam jika pemulihan ekonomi lebih diprioritaskan daripada aspek kesehatan masyarakat.
"Yang pertama perlu saya ingatkan, sekali lagi bahwa kunci dari ekonomi kita agar baik adalah kesehatan yang baik. Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik," kata Jokowi.
Anehnya, revisi itu keluar setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan keputusan untuk menerapkan kembali PSBB total di wilayah ibukota negara. Menurut Jokowi, pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas (PSBM) lebih efektif dibandingkan PSBB total.
Konsep New Normal yang Gagal Total
Padahal, apa yang kita alami selama hampir 4 bulan belakangan ini adalah buah dari pembatasan sosial berskala mikro. Konsep "New Normal" atau Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) tak lain hanya perpindahan istilah dari konsep PSBM.
Hasilnya, justru jumlah kasus positif Covid-19 meningkat tajam. Jika sebelumnya kasus positif yang terkonfirmasi berada di kisaran 1000-an kasus per hari, beberapa minggu terakhir kita terbiasa mendengar penambahan jumlah kasus positif yang mencapai 3000-an per hari.
Artinya, kehidupan "New Normal" sudah gagal total. Kebijakan pemerintah selama hampir 7 bulan dalam menangani pandemi Covid-19 tidak membuahkan kesuksesan. Benar bahwa sebagian besar sendi kehidupan kita sudah beradaptasi dengan kebiasaan baru. Namun sayang, hal ini tak diiringi dengan berkurangnya jumlah penduduk yang terinveksi virus corona.
Di sektor ekonomi, pelonggaran PSBB juga tak mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat dengan cepat. Pertumbuhan ekonomi kita malah minus di angka 5 persenan.
Padahal masih segar dalam ingatan, di bulan April Presiden Jokowi sempat menjanjikan kehidupan kita normal kembali atau setidaknya kondisi pandemi Covid-19 sudah berada di level paling ringan pada bulan Juli. Faktanya, sekarang sudah bulan September dan ekonomi kita masih tersendat-sendat kalau tidak mau dikatakan berjalan mundur. Jumlah kasus positif semakin bertambah banyak diiringi kekhawatiran bakal terjadi overload kapasitas ruang perawatan di rumah sakit.
Kesalahan Penanganan Pandemi Sejak Awal
Keputusan Anies Baswedan menarik tuas rem darurat bukan tanpa pertimbangan yang matang. Sejak awal, Anies selalu mengusulkan agar Jakarta ditutup dan masyarakat dibatasi pergerakan serta aktivitasnya. Dengan kata lain, Anies saat itu menghendaki ibukota negara di karantina.
Namun apa boleh buat. Anies memang Gubernur DKI Jakarta, tapi keputusan mutlak berada di bawah kendali pemerintah pusat. Kehendak Anies dipatahkan dengan alasan demi menyelamatkan perekonomian.
Padahal, di mana-mana alur penanganan pandemi itu diawali dengan menutup diri alias lockdown. Pengertiannya adalah, warga daerah lain tak boleh masuk daerah tersebut, begitu juga sebaliknya. Warga lokal pun harus dibatasi aktivitasnya. Sampai kapan?
Sampai kasus positif benar-benar dapat diatasi hingga kurva penambahannya melandai. Dan itu berarti penyebarannya berhasil direduksi dengan baik, lalu tingkat kesembuhan juga semakin baik. Walaupun nantinya masih ada yg positif setiap hari, tapi jumlahnya semakin hari semakin sedikit bahkan bisa jadi 0 kasus nantinya.
Setelah itu, baru pemerintah bisa slow down. Pemerintah bisa mengendurkan kunci dan membuka kembali pintu-pintu penting yang mendesak dan dibutuhkan warga. Aktivitas di luar lapangan mulai digerakkan, arus transportasi masuk dan keluar daerah juga dibuka, tetapi tetap dengan protokol yang dipantau cukup ketat dengan banyaknya aparat yang berjaga untuk penegakan protokol kesehatan.
Yang terjadi di negara kita justru sebaliknya. Di saat kasus positif masih merangkak naik, pemerintah pusat membuka pintu lebar-lebar agar semua warga bisa beraktivitas kembali. Dengan dalih transisi menuju "New Normal", aspek kesehatan dan keselamatan warga nyaris terabaikan.
Baru ketika pemerintah sadar bahwa penyebaran Covid-19 sudah sangat mengkhawatirkan, Presiden Jokowi buru-buru mengingatkan jajarannya untuk mengedepankan aspek kesehatan. Sebagai kepala daerah yang wilayahnya berwarna paling merah, Anies menangkap pesan dan instruksi itu dengan baik, lalu diwujudkan dalam bentuk kebijakan kembali PSBB total.
Beri Kesempatan Anies Menyelamatkan Warga Jakarta
Ironisnya, dalam keadaan genting seperti ini, masih banyak pihak yang ingin menjegal Anies. Malah, Anies dituding sebagai biang kesalahan penanganan pandemi Covid-19 di Jakarta yang carut marut. Lebih parah lagi, Anies dituding ingin mencari panggung.
Padahal bisa kita lihat sendiri, berapa kali keputusan Anies dimentahkan pemerintah pusat. Anies juga tak hendak mendirikan panggung kampanye di tengah kewaspadaan terhadap pandemi Covid-19. Anies tak hendak mengoleskan citra di tengah kecemasan masyarakat akan wabah corona. Anies hanya ingin melakukan yang terbaik bagi kesehatan dan keselamatan warganya, di saat pemerintah pusat tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.
Semua yang diperlukan untuk menghadapi krisis ini adalah sedikit akal sehat, bukan kepentingan sesaat. Sekali ini, berilah kesempatan pada Anies untuk menyelamatkan warganya. Kalau kebijakan Anies keliru dari sisi ekonomi, kita nanti bisa meralatnya. Bila perlu, kita bisa menyerangnya habis-habisan.
Tetapi, jika tidak ada langkah tegas seperti ini, siapa yang bisa meralat ribuan kematian? Kita semua tidak punya kemewahan dan kekuasaan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H