Sewaktu kecil, setiap kali aku mudik ke desa di kabupaten Blora, Jawa Tengah, aku sering dinasihati ibu,
"Kalau bicara sama anak-anak desa, jangan pakai bahasa Surabaya."
"Lho, kan sama-sama bahasa Jawa toh Bu?" protesku saat itu.
"Iya, tapi logatnya kan beda. Bahasa Surabaya itu kasar, kurang halus dibandingkan bahasa Jawa Tengahan."
Dan benar saja. Saat bermain dengan anak-anak sebaya di desa ibuku itu, aku seperti makhluk asing. Dianggap aneh karena logat bahasa Jawaku yang kasar. Bahkan pernah ibuku mendapat keluhan dari salah satu orangtua temanku. Katanya aku mengajarkan kata-kata tidak pantas pada anak mereka.
Padahal aku hanya berkata "koen gocik!" (kamu penakut!). Mungkin karena tidak terbiasa mendengarnya, orangtua teman-temanku di desa menganggap frasa itu seperti kata-kata makian.
Bahasa Surabaya Paling Kasar di Antara Bahasa Jawa Lainnya
Bagi orang Jawa Mataraman (masyarakat Jawa yang tinggal di Jawa Tengah & Yogyakarta, dan perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah), Â dialek Jawa Timuran dianggap sebagai dialek bahasa Jawa yang kasar. Dan di antara beberapa dialek Jawa Timuran, dialek Surabaya sering dianggap yang paling kasar.
Baca juga : Perbedaan Bahasa Jawa Timur dengan Bahasa Jawa Tengah
Penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya juga tidak sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta. Generasi orang tua di Surabaya sudah banyak mencampurkan kosakata Jawa ngoko yang lebih kasar dalam penggunaan bahasa Jawa madya dan krama yang mereka gunakan sehari-hari.
Boleh dikatakan, secara struktural bahasa Jawa, dialek Suroboyoan menduduki tingkat bahasa paling kasar. Meski begitu, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain.
Ciri khas Bahasa Surabaya
Salah satu ciri khas yang membedakan bahasa Jawa Surabaya dengan bahasa Jawa standar adalah penggunaan partikel tanya "rek". Partikel ini berasal dari kata "arek", yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata "bocah" (anak) dalam bahasa Jawa standar.Â
Partikel "rek"Â jika digunakan dalam kalimat diucapkan dengan ekspresi bertutur yang tegas dan menunjukkan semangat. Berbeda jika menggunakan "cah" (dari kata bocah) yang terdengar lebih kalem atau santai.
Contohnya:
Bahasa Surabaya : He, yo' opo kabare rek?
Bahasa Jawa standar : Piye kabare cah?
Bahasa Indonesia : Apa kabar kawan?
Bila ada kawan yang asli Surabaya dan bisa berbahasa Surabaya, mintalah dia mengucapkan tiga kalimat sapaan itu. Kamu akan mendengar sendiri betapa tegas dan semangatnya ia saat menyapa dengan bahasa Surabaya dibandingkan menyapa dengan bahasa Jawa standar atau Bahasa Indonesia.
Baca juga :Bahasa Jawa Masih Dituturkan di Negara-negara ini, Bagaimana Asal-usulnya?
Partikel tanya lain yang sering digunakan adalah "seh"Â (e dibaca seperti e dalam kata edan). Partikel "seh"Â dalam bahasa Indonesia setara dengan partikel "sih". Sementara penutur bahasa Jawa standar jarang atau hampir tidak pernah menggunakan partikel "seh" dalam percakapan mereka.
Contoh kalimat:
Bahasa Surabaya: "Koen iku yo' opo seh? Kan wis tak kandani mau"
Bahasa Indonesia: "Kamu itu bagaimana sih? Kan sudah kubilang tadi"
Ciri khas lain dari bahasa Surabaya adalah mengganti kata "sangat" dengan memberi penekanan pada kata dasar sifat menggunakan tambahan huruf vokal "u". Misalnya:
Bahasa Indonesia: sangat panas
Bahasa Jawa standar: panas nemen/panas banget
Bahasa Surabaya: puanas
Contoh dalam kalimat:
Bahasa Indonesia: Hawanya sangat panas / hawanya panas sekali
Bahasa Jawa standar: Hawane panas men / hawane panas banget
Bahasa Surabaya: Hawane puanas
Bahasa Surabaya Menunjukkan Karakter Penutur yang Tegas dan Terus Terang
Meski dianggap sebagai dialek Jawa yang paling kasar, dan mungkin paling kasar di antara ratusan bahasa daerah lain di Indonesia, sebenarnya bahasa Surabaya menunjukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang dalam bertutur kata. Jika kebanyakan masyarakat Jawa (Mataraman) terbiasa basa-basi, hal ini tidak berlaku dalam kehidupan Arek Suroboyo.
Begitu pula dalam tata wicara (sikap saat berbicara), misalnya orang Jawa menekankan tidak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua, atau yang dituakan, atau pemimpin.Â
Sikap ini dianggap tidak sopan dalam adat budaya Jawa yang banyak diatur menurut tata krama keraton. Tapi dalam budaya Arek Suroboyo, tidak memandang mata lawan bicara bisa dianggap pengecut.
Baca juga : Kenapa di Lampung Banyak Penutur Bahasa Jawa?
Sedangkan beberapa kosakata yang dianggap orang Jawa sebagai kosakata makian, jika digunakan dalam kalimat-kalimat tertentu malah menunjukkan tanda persahabatan.
Misalnya kata "jancuk", yang sering dianggap kata makian paling kasar. Kata ini mengalami transformasi menjadi lebih bersahabat apabila digunakan untuk menyapa teman yang sudah lama tidak bertemu. Contohnya:"
"Jancuk! Yo' opo kabarmu rek, suwe gak ketemu!"
Karena terbiasa dengan kosakata yang lugas dan cenderung kasar, kata-kata kasar dari bahasa daerah lain sering dianggap remeh. Seolah bagi arek Suroboyo, tak ada bahasa yang lebih kasar daripada bahasa Surabaya.
Itu sebabnya ketika KPAI menganggap kata "anjay" termasuk kata kasar/kata makian dan tidak bagus diucapkan anak-anak, teman-temanku yang orang Surabaya asli malah tertawa. Malah kata seorang teman, sebelum memutuskan mana kata yang kasar, belajarlah dulu bahasa Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H