Antrean pengunjung di sebuah gedung bioskop terlihat mengular hingga di depan tempat parkir sepeda motor. Hari itu gedung bioskop tersebut tengah memutar perdana film superhero yang sudah lama ditunggu-tunggu penikmat film, yang penayangannya tertunda karena pandemi Covid-19.
Pengunjung terpaksa mengantri karena sesuai protokol kesehatan, mereka harus diperiksa suhu tubuhnya, lalu mengisi formulir untuk keperluan pendataan tracing.Â
Tiba-tiba, seorang pemuda berpakaian necis tanpa ikut antre langsung menuju ke tempat pemeriksaan tiket. Setelah menunjukkan tiket dan sebuah kartu kecil, tanpa diperiksa suhu tubuh maupun mengisi formulir pemuda itu pun dipersilahkan masuk.
Melihat kejadian tersebut, seorang pemuda lain keluar dari antreannya dan memprotes petugas bioskop yang mengijinkan pemuda necis itu masuk begitu saja.
"Permisi pak, pemuda tadi kok bisa langsung masuk tanpa ikut antre? Apa dia pemilik bioskop ini?" tanya pemuda itu dengan nada kesal.
"Bukan mas. Dia penonton biasa kok."
"Terus kenapa dia bisa nyelonong begitu saja? Sementara saya dan yang lainnya harus antre begitu lama cuma buat diperiksa suhu tubuh dan mengisi formulir segala macam."
"Oh, dia nggak nyelonong kok Mas. Memang sudah prosedur kami untuk memeriksa setiap penonton sebelum masuk ke gedung bioskop. Nah, pemuda tadi punya kartu bebas Covid-19. Artinya dia sudah disuntik vaksin Covid-19, jadi gak perlu diperiksa suhu tubuh atau mengisi formulir tracing."
***
Pemerintah Indonesia Akan Impor 50 Juta Dosis Bakal Vaksin Covid-19
Kisah di atas hanya fiksi belaka, namun berpotensi terjadi di masa depan. Saya bukan peramal, tapi kisah rekaan itu sepertinya mewakili kekhawatiran saya pada wajah masa depan saat Covid-19 selesai diuji klinis dan mulai diedarkan.
Seperti yang kita ketahui dari berita-berita di media massa, sejumlah negara tengah berlomba untuk menciptakan vaksin Covid-19. Pemerintah Indonesia sendiri sudah melakukan teken kerjasama dengan perusahaan bioteknologi asal Cina, Sinovac Life Sciences Co, Ltd (Sinovac Biotech) yang memproduksi vaksin CoronaVac.
Pada 19 Juli lalu, pemerintah melalui perusahaan plat merah Bio Farma menerima 2.400 calon vaksin Covid-19.Â
Bakal vaksin tersebut saat ini sedang dilakukan uji klinis fase ketiga yang melibatkan 1.620 relawan subyek riset berusia 18-59 tahun. Pengujian klinis dilakukan di Pusat Uji Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Meski belum diketahui hasil pengujian klinisnya, pemerintah sudah melakukan penandatanganan Prelimenary Agreement of Purchase and Supply of Bulk Production of Covid-19 Vaccine, yang dilaksanakan pada 20 Agustus 2020 di Hainan, Tiongkok.Â
Salah satu butir kesepakatan perjanjian pembelian tersebut adalah Bio Farma akan menerima bulk atau konsentrat Ready to Fill (RTF) vaksin Covid-19 dari Sinovac sebanyak 50 juta dosis pada November 2020 sampai dengan Maret 2021 mendatang.Â
Menteri BUMN sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN), Erick Thohir, mengatakan bahwa selain pembelian konsentrat vaksin, Bio Farma juga akan menerima transfer teknologi.
"Dalam kunjungan ini kita ingin memastikan transformasi dari industri kesehatan kita, di mana Bio Farma kerja sama dengan Sinovac adalah sebuah kerja sama yang win-win, bahwa menyepakati dengan Sinovac dalam hal transfer knowledge, transfer teknologi , ini yang perlu digarisbawahi," ujar Erick dalam keterangan dilansir dari Antara, Sabtu (22/8/2020).Â
Vaksin Covid-19 Dapat Menciptakan Kesenjangan Sosial Baru
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, siapa saja yang berhak pertama kali menerima suntikan vaksin CoronaVac seandainya vaksin ini berhasil lolos uji klinis fase ketiga?Â
Apakah vaksin ini kelak disuntikkan massal secara gratis ataukah masyarakat harus membayar agar mereka bisa disuntik dan bisa bebas dari Covid-19?
Ini masalah yang harus dipikirkan dengan penuh pertimbangan oleh pemerintah, dalam hal ini Komite Penanganan Covid-19. Pasalnya, produksi vaksin secara massal oleh perusahaan dalam negeri tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Untuk pengujian klinis fase ketiga di Indonesia, butuh waktu paling tidak 6 bulan.
Itu artinya 50 juta bakal vaksin ini baru bisa diedarkan pada kuartal pertama 2021. Jika 50 juta vaksin ini sudah siap disuntikkan, lantas bagaimana dengan masyarakat lainnya yang belum menerima suntikan vaksin?
Seandainya Bio Farma bisa mempercepat produksi vaksin, pertanyaan berikutnya yang mengemuka adalah apakah vaksin ini akan dibagikan secara gratis atau masyarakat harus membayar untuk mendapatkannya? Kalau harus membayar, berapa harganya?
Proses produksi vaksin baru tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Sangat riskan dan hampir mustahil apabila pemerintah maupun Bio Farma berbaik hati membagikan vaksin Covid-19 secara cuma-cuma. Kecuali ada lembaga donor yang bersedia menyumbang modal dan tidak meminta imbal balik apapun. Tapi, sepertinya kondisi ini hanya bisa terjadi di dunia fiksi.
Inilah yang saya maksud potensi kesenjangan sosial yang baru itu, seperti yang saya gambarkan dalam kisah rekaan di atas. Masyarakat yang sudah disuntik vaksin Covid-19 seolah mendapatkan privilige, sementara bagi mereka yang belum diimunisasi corona harus menerima perlakuan yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H