Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Kak Sultan Hamengkubuwono IX, Bapak Pramuka Indonesia

14 Agustus 2020   22:22 Diperbarui: 14 Agustus 2020   22:48 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di kalangan anggota Kwartir Nasional, Sultan HB IX dipanggil dengan sebutan "Kak Sultan" (sumber foto: radarjogja)

"Kak Sultan". Begitulah anggota Kwartir Nasional Pramuka Indonesia memanggil Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tak ada kesan formal. Sapaan tersebut bahkan bernada kekeluargaan, seolah kedudukan Sri Sultan Hamengkubuwono sama tingginya dengan anggota Kwarnas lain yang memanggilnya.

Sekilas Sejarah Lahirnya Gerakan Pramuka Indonesia

Sejarah gerakan Pramuka Indonesia memang tak bisa dilepaskan dari nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pemilik tahta Keraton Yogyakarta pada masanya adalah salah satu tokoh yang membidani lahirnya Gerakan Praja Muda Karana, yang kemudian disingkat Gerakan Pramuka Indonesia.

Kiprah dan jasa Sultan Hamengkubuwono IX dimulai saat beliau ditunjuk menjadi Wakil Ketua I Majelis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka sekaligus Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) pertama. Penunjukan dan pengangkatan itu berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor No.447 Tahun 1961, tanggal 14 Agustus 1961.

Pada tanggal yang sama, Gerakan Pramuka diperkenalkan secara luas ke seluruh rakyat Indonesia. Peresmian dan pengenalan Gerakan Pramuka secara resmi ditandai dengan Apel Besar yang diikuti dengan pawai pembangunan dan defile oleh sekitar 10.000 anggota pramuka di depan Presiden dan berkeliling Jakarta.

Sebelum kegiatan pawai/defile, Presiden melantik anggota Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari (Kwartir Nasional Harian), di Istana negara. Pada kesempatan yang sama Presiden Soekarno juga menyampaikan anugerah tanda penghargaan dan kehormatan berupa Panji Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia (Keppres No.448 Tahun 1961) yang diserahterimakan kepada Ketua Kwartir Nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sesaat sebelum pawai dimulai.

Peristiwa perkenalan tanggal 14 Agustus 1961 ini kemudian diakui sebagai HARI PRAMUKA yang setiap tahun diperingati oleh seluruh jajaran dan anggota Gerakan Pramuka di seluruh Indonesia.

Namun, bukan lantaran menjabat sebagai Ketua Kwarnas pertama saja Sri Sultan Hamengkubuwono IX diakui dan digelari Bapak Pramuka Indonesia. Selama periode kepemimpinannya, banyak peristiwa menarik seputar kiprahnya di gerakan pramuka Indonesia yang menunjukkan sisi lain dari kepribadian Kak Sultan HB IX.

Kenangan Sisi Lain Kepribadian Kak Sultan Hamengkubuwono IX

Peristiwa-peristiwa itu terekam dalam ingatan Prijo Judiono yang saat itu bekerja di kantor Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pada tahun 1972. Saat itu Sri Sultan HB IX menjabat ketua Kwarnas periode keempat (1970-1974) sekaligus menjabat sebagai Menteri Negara Ekuin.

Rekaman ingatan Prijo tentang Kak Sultan ini terungkap dalam buku 'Hamengku Buwono IX, Inspiring Prophetic Leader, Memimpin dengan Kecerdasan Intelektual dan Spiritual', editor Parni Hadi dan Nasyith Majid (Ikatan Relawan Sosial Indonesia, 2013).

Salah satu yang menarik adalah tatkala Prijo berkesempatan ikut dalam rombongan perjalanan Sri Sultan HB IX ke Sumatera Utara memenuhi undangan pertemuan Kwarda di bumi perkemahan Sibolangit. Prijo menceritakan saat perjalanan melewati Gunung Sibayak dengan jalan menanjak dan sempit, pengawalan dari voorrijder CPM mendadak berhenti di tengah jalan. Ternyata mobil yang dinaiki Sri Sultan HB IX bersenggolan dengan mobil dari arah berlawanan.

Salah seorang voorrijder CPM kemudian turun dari kendaraannya dan langsung melayangkan bogem mentah ke pengemudi mobil.  Melihat insiden tersebut, Sultan HB IX kemudian turun dan melerai, "Sudah, sudah...!"

Kontan drama kekerasan itu pun berhenti. Semua pihak menjadi tenang dan kembali ke posisi masing-masing. Setelah itu rombongan melanjutkan perjalanannya menuju Bumi Perkemahan Sibolangit.

Kenangan lain yang terekam ingatan Prijo adalah tatkala Sri Sultan HB IX menerima kunjungan Senator Maria-Kallaw Katgbak, Ketua Gerakan Kepanduan Filipina. Pertemuan keduanya membahas kerjasama Girl Scouts of The Philipines dengan Gerakan Pramuka.

Dalam pertemuan tersebut, Kak Sultan HB IX menyerahkan cinderamata berupa wayang kulit Kresna. Tak disangka, Senator Maria-Kallaw dengan halus menolak pemberian cinderamata itu karena sudah pernah menerima cinderamata serupa.

Menurut Prijo yang saat itu menyaksikan langsung, Sri Sultan menanggapi penolakan itu dengan senyuman dan meminta stafnya untuk menyimpan kembali wayang Kresna.  Tak nampak kekecewaan di wajahnya saat mengetahui tamunya menolak pemberian cinderamata.

"Self control yang luar biasa," kenang Prijo.

Pemimpin yang Gemar Berkemah dan Memasak

Peristiwa lain yang menunjukkan kepribadian luhur dan kerendahan hati Kak Sultan HB IX terjadi ketika berkunjung ke acara jambore dunia ke-13 di Shizuoka, Jepang, 2-10 Agustus 1971. Sebagai Ketua Kwarnas, Kak Sultan mendapat privilige penginapan khusus. Namun, Kak Sultan HB IX memilih ikut berkemah. Tak hanya itu, Kak Sultan juga menyempatkan diri memasak nasi goreng untuk sarapan bersama-sama.

Kegemaran berkemah dan memasak juga ditunjukkan Sri Sultan HB IX tatkala menghadiri Perkemahan Wirakarya di Lebakharjo, Malang Selatan, tahun 1978. Sultan Hamengkubuwono IX waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Kebiasaan ikut berkemah itu sedikit merepotkan panitia karena pasukan pengamanan Wakil Presiden harus menyesuaikan aturan protokoler untuk pengamanan. Demi menghormati kegemaran Kak Sultan yang ikut berkemah, Bupati Malang Suwignjo akhirnya juga ikut berkemah.

Pandu Agung, Bapak Pramuka Indonesia

Parni Hadi, editor sekaligus ketua tim penerbitan buku "Hamengku Buwono IX, Inspiring Prophetic Leader" mengatakan Sultan HB IX merupakan sosok pemimpin yang 'profetik'. Mantan Pemimpin Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA itu menjelaskan, pemimpin "profetik" cenderung menjalankan kekuasaannya bukan hanya dengan kecanggihan logika berpikir atau sikap profesionalnya, tetapi melibatkan faktor spiritualitas, yakni melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalankan kepemimpinan.

Tak heran jika dalam kiprah kepemimpinannya di gerakan kepanduan dan Pramuka Indonesia, Sultan Hamengkubuwono IX juga mendapat julukan Pandu Agung. Julukan ini disematkan karena sosoknya yang mencerminkan seorang guru dan panutan bagi Pramuka Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun