Sepeninggal Ibrahim a.s, kegelisahan mulai melanda hati Hajar. Ismail, anaknya yang masih dalam gendongan menangis kehausan, sementara bekal air sudah lama habis tak tersisa.
Hajar menolehkan kepalanya, memandang ke arah bukit Safa. Antara percaya dan tidak percaya, Hajar melihat sekilas kilau air di kejauhan.
Hajar lalu meletakkan Ismail di dekat Ka'bah. Kemudian ia berlari-lari kecil menuju titik di mana kilau air itu dilihatnya. Semakin jauh ia melangkah ke bukit Safa, titik kilau air itu juga semakin menjauh. Terengah-engah, Hajar berhenti sejenak mengambil nafas.
Kemudian, Hajar mengalihkan pandangannya ke seberang, ke arah bukit Marwa. Kembali dilihatnya kilau titik air di sana. Dengan tekad bulat hendak mencari sesuatu yang bisa membasahi tenggorokan buah hatinya Ismail yang kehausan, Hajar berlari-lari kecil menuju bukit Marwa.
Sesampainya di sana, Hajar kembali menemui kenyataan pahit. Tak ada oase atau lubang-lubang air seperti yang terlihat oleh matanya tadi.
Namun Hajar tak juga putus asa. Lelah letih tak berkesudahan, kepayahan yang hampir menggoyahkan iman, Hajar terus mencari sumber air demi putra kesayangannya Ismail. Tujuh kali Hajar mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwa sementara bibirnya tak henti memanjatkan doa.
Akhirnya Allah menjawab doa Hajar, menjawab kebutuhannya, menjawab kelelahan yang mengiringi kesungguhan perjuangan dan pengabdian seorang istri sekaligus ibu bagi suami dan anaknya. Air memancar di bawah kaki Ismail kecil, di tempat Hajar meletakkan putra Ibrahim ini di dekat Ka'bah.
***
Doa Gaya Lampu Aladdin
Seringkali kita menempatkan doa sebagai "lampu Aladdin", dan Tuhan menjadi jin yang bersemayam di dalamnya. Ketika kita memohon, maka Tuhan harus keluar dari "lampu" itu. Bersimpuh di hadapan kita lalu berkata,
"Tuan, katakan kehendak tuan."