Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kasta di Kompasiana itu Nyata Adanya

7 Juli 2020   13:47 Diperbarui: 7 Juli 2020   13:48 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semenjak hak istimewa itu diberikan, tanpa sadar Kompasiana sudah membentuk kasta-kasta (ilustrasi: diolah dari Canva)

Ada yang menarik dari penjelasan COO Kompasiana Mas Nurulloh tentang fitur terbaru Kompasiana Premium. Selain menepis kekhawatiran bahwa "nulis di Kompasiana sekarang harus bayar", Nurulloh juga menepis adanya pengklasteran antara Kompasiana Premium dan Kompasiana Non Premium.

Menurut Mas Nurulloh, Sejak 2009 hingga saat ini, terhitung sudah empat kali Kompasiana dianggap ingin membentuk kasta-kasta. Tidak disebutkan kapan dan pada kondisi apa saja Kompasiana dianggap ingin membentuk kasta.

Mas Nurullah boleh saja menepis anggapan atau kekhawatiran banyak Kompasianer perihal pengkotakan atau pembentukan kasta-kasta. Faktanya, kasta di Kompasiana itu memang nyata adanya.

Bukan lantaran adanya Kompasiana Premium, karena seperti yang dijelaskan mas Nurulloh,

Premium atau Non-Premium, sama saja haknya dalam berinteraksi di Kompasiana! Sekaligus, dalam pengelolaan konten pun seperti pemilihan konten pilihan, headline dan lainnya, semua akun punya hak dan porsi yang sama.

Juga bukan pengkotakan berdasarkan tolok ukur materi karena "Hal tersebut hanyalah sebuah apresiasi atas level kontribusi tiap Kompasianer."

Namun, pengkotakan atau kasta-kasta di antara pengguna Kompasiana itu sejatinya sudah terbentuk sejak Kompasiana memberi tanda centang biru dan centang hijau!

Yang Terverifikasi Biru Lebih Terpercaya?

Terima kasih atas partisipasi Anda menyampaikan kabar-kabar gembira melalui karya tulisan di Kompasiana. Kami sungguh mengapresiasi dan telah tiba saatnya bagi kami untuk mengundang Anda sebagai salah satu penulis terpercaya di Kompasiana dengan status Verifikasi Biru.

Itu pesan yang saya dapat saat pertama kali mendapat tanda centang biru alias Verifikasi Biru. Pemberian tanda Verifikasi Biru ini hakekatnya sudah membuat Kompasiana tanpa sadar mengkotakkan Kompasianer itu sendiri.

Kompasianer centang biru memiliki status yang berbeda dengan yang masih centang hijau. Statusnya adalah -- mengutip langsung isi pesan yang saya terima -  penulis terpercaya di Kompasiana. Dengan kata lain, Kompasianer yang masih centang hijau tulisannya dianggap belum terpercaya (oleh Kompasiana)!

Saya tidak tahu seperti apa tolok ukur atau parameter penilaian dari Kompasiana terhadap label "penulis terpercaya". Apakah berdasarkan kuantitas atau kualitas.

Apakah berdasarkan faktor "enganggement" atau keterlibatan penulis baik itu dari segi jumlah artikel maupun keterlibatan memberi rating dan komentar, atau karena tulisannya memang benar-benar "high quality".

Centang biru ini juga sering diberikan pada akun yang sudah punya nama karena identifikasi profesi dan personalnya yang spesialis. Misalnya pejabat sekelas menteri, rekan Kompasianer yang berprofesi sebagai dokter, praktisi hukum (hakim, jaksa, pengacara) maupun praktisi lain yang sudah punya kelas tersendiri.

Orang-orang seperti ini, tanpa perlu menunggu waktu lama bisa langsung terverifikasi biru. Sementara Kompasianer yang biasa-biasa saja, butuh waktu berbulan-bulan untuk dapat surat cinta yang menyatakan dirinya berhak menyandang centang biru dan status "penulis terpercaya".

Privilige Dari Kompasianer Terverifikasi Biru

Selain status yang berbeda, Kompasianer yang terverifikasi biru juga memiliki privilige tersendiri dibanding yang masih centang hijau. Yakni dalam hal penempatan artikelnya.

Sejak pertengahan 2019, setiap artikel yang ditayangkan Kompasianer Verifikasi Biru secara otomatis langsung ditempatkan sebagai artikel Pilihan (Highlight). Porsi yang sama tidak didapatkan Kompasianer centang hijau, apalagi yang belum terverifikasi sama sekali.

Hak istimewa ini berpengaruh terhadap "loyalti" bulanan alias K-Rewards yang bisa didapatkan. Sebagaimana yang kita ketahui, sejak pertengahan 2019 (seiring dengan otomatisasi "Pilihan" pada setiap artikel dari Kompasianer Biru), Kompasiana memperketat aturan perolehan K-Rewards. Hanya artikel yang minimal masuk kategori Pilihan yang dihitung pageview-nya untuk mendapatkan K-Rewards.

"Enak ya yang sudah terverifikasi biru, semua artikelnya dihitung."

Itu komentar seorang rekan Kompasianer yang masih centang hijau saat aturan pengetatan K-Rewards mulai diberlakukan.

Karena "kualitas" itu subyektif, belum tentu setiap artikel yang ditayangkan Kompasianer Biru layak jadi Pilihan. Jujur, saya sendiri menilai ada beberapa artikel saya yang tidak layak jadi Pilihan. Artikel yang, yah seringnya saya tulis dengan santai, sambil lalu saja tidak terlalu banyak memikirkan data atau fakta.

Begitu pula sebaliknya. Saya sering mendapati beberapa artikel Kompasianer Hijau yang saya anggap berkualitas harus "bernasib sial", tidak jadi Pilihan dan teronggok di dasar jurang, nyaris tidak mendapatkan pembaca.

Jadi, apa yang dikatakan Mas Nurulloh tidak sepenuhnya benar. Pengklasteran atau pembentukan kasta-kasta itu nyata adanya. Namun, bukan karena fitur Kompasiana Premium, melainkan karena centang atau status verifikasinya.

Kompasiana memberi hak istimewa pada Kompasianer centang biru dengan memasukkan semua artikelnya pada kategori Pilihan. Sementara yang masih hijau dan belum memiliki centang setiap artikelnya harus dinilai dan dipertimbangkan ulang.

Lalu bagaimana sebaiknya?

Pilihannya ada dua:

Pertama, cabut hak istimewa yang sudah diberikan pada Kompasianer Verifikasi Biru. Kembalikan format pemilihan artikel Pilihan/Highlight seperti semula. Artinya, semua artikel, tanpa memandang status akunnya harus dinilai dulu apakah layak masuk kategori pilihan atau tidak.

Kedua, beri privilige atau porsi yang sama pada Kompasianer Verifikasi Hijau agar semua artikel mereka langsung jadi Pilihan. Toh secara data administrasi, mereka benar-benar orang yang nyata, bukan akun abal-abal.

Dengan begitu, barulah Mas Nurulloh boleh berkata,

"Kami tutup mata dengan jenis akunnya. Yang kami nilai adalah karyanya!"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun