Romansa Peneng SepedaÂ
Mengingat masa kanak-kanak tahun 80-90an memang mengasyikan. Salah satunya adalah memori kolektif tentang sebuah benda bernama Peneng Sepeda.
Benda ini bentuknya sticker yang ditempel di rangka sepeda. Bagi pemilik sepeda yang sepedanya sudah ditempeli peneng (ada juga yang menyebutnya plombir), mereka dapat bersepeda ria dengan hati tenang, tanpa khawatir akan dicegat petugas pajak.
Memang, pada jaman itu sepeda dikategorikan barang yang terkena pajak. Seperti halnya televisi atau radio yang juga pernah dikenakan pajak oleh pemerintah Orde Baru.
Peneng dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat dan besaran pajaknya berbeda-beda antar pemerintah daerah. Diperkirakan, sepeda sudah dikenakan pajak sejak tahun 1960-an.
Sebagai tanda pembayaran pajak, pemerintah mencetak lempengan logam yang diukir sesuai dengan logo pemerintah daerah masing-masing. Pada tahun 1970-an, lempengan logam ini berubah menjadi stiker.
Besaran pajak sepeda ini tergantung pada jenis sepedanya. Semakin mahal harga sepeda otomatis pajaknya juga semakin besar. Sepeda phoenix (jengki) misalnya, pada jaman itu pajaknya bisa mencapai 500 rupiah per tahun. Sementara pemilik sepeda onthel (sepeda kerbau) harus membayar pajak sekitar 100 hingga 200 rupiah.
Akal-akalan Warga Menghindari Razia Peneng Sepeda
Pajak sebesar itu bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang paling banyak menggunakan sepeda sebagai alat transportasi dirasakan sedikit memberatkan. Tak heran bila kemudian banyak pemilik sepeda yang enggan membayar pajak.
Agar pemasukan pemerintah tak hilang akibat banyaknya warga yang enggan membayar pajak sepeda, pemerintah mulai rajin menggelar razia. Di beberapa tempat keramaian seperti pasar, seringkali ada razia peneng sepeda.
Pengendara sepeda yang sepedanya ketahuan tidak punya peneng atau tertempel stiker pajak, biasanya akan disuruh membeli stiker pada petugas langsung di tempat. Sadisnya, petugas operasi tidak segan mencabut pentil sepeda tersebut jika pengendara tidak punya uang untuk membeli stiker.
Namun, masyarakat tak kehabisan akal agar dapat terhindar dari razia dan tidak perlu membayar pajak. Ada warga yang patungan membayar pajak, satu stiker disobek jadi dua lalu ditempelkan di sepeda masing-masing. Ketika ada razia, warga tersebut dengan enteng berkata, "Separuhnya sudah ngelothok (mengelupas)". Karena sepeda tidak punya nomor polisi seperti halnya sepeda motor, tentu saja petugas yang merazia tidak bisa membuktikan kebenarannya. Akhirnya, warga itu pun lolos dari jeratan razia peneng sepeda.
Mumpung Lagi Tren Bersepeda, Pemerintah Berwacana Menarik Pajaknya
Seiring membanjirnya sepeda motor dan harganya yang kian terjangkau, peneng sepeda akhirnya perlahan mulai menghilang. Kalau di Surabaya seingatku, peneng sepeda sudah ditiadakan sejak tahun 1994. Namun, beberapa daerah lainnya masih mengenakan pajak sepeda hingga akhir 90-an.
Romansa peneng sepeda ini sengaja kuceritakan agar kalian tidak kaget jika sewaktu-waktu pemerintah kita saat ini memberlakukan pajak sepeda. Seperti yang diungkapkan Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi, bahwa pemerintah membuka wacana pemberlakuan (kembali) pajak sepeda.
 "Kalau waktu saya kecil, saya mengalami sepeda disuruh bayar pajak dan sebagainya. Mungkin bisa ke sana. Tapi ini sejalan revisi UU 22/2009, sudah diskusi dengan Korlantas Polri," kata Budi Setiyadi dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Benar kan apa yang kukatakan? Tapi, apa hanya gara-gara pak Dirjen mengingat memori kolektif masa kecilnya, kemudian tiba-tiba ingin memberlakukan pajak sepeda?
Sepertinya sih tidak. Kelihatannya pemerintah ingin mengambil kesempatan di saat masyarakat tengah dilanda hype bersepeda. Mumpung sekarang lagi tren bersepeda, kapan lagi punya sumber pemasukan yang lumayan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H