Akhirnya, kerinduan itu terlampiaskan. Ada rasa haru yang menyesakkan dada ketika kami saling bertatap muka lewat layar ponsel. Saling bertanya kabar dan mendoakan semoga semua sehat dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
Dari banyak kabar yang ingin kudengar dari saudara di kampung halaman, satu kabar yang membuatku penasaran adalah apa di sana masih menggelar tradisi Bancakan.
Di kampungku Tenggilis, Surabaya, Bancakan adalah tradisi yang mengiringi perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Usai melaksanakan salat Id, setiap keluarga membawa "asahan", atau masakan yang biasanya berupa nasi satu tempeh beserta lauknya ke masjid atau musholla terdekat.Â
Jika tak sempat memasak, beberapa warga membawa buah-buahan atau minuman. Jika dalam satu lingkup musholla ada 10 keluarga, bisa dipastikan disana juga tersedia 10 "asahan".
Sebelum makan bersama, sesepuh kampung angkat bicara. Biasanya mengingatkan warga perihal ibadah puasa yang sudah dilalui atau petuah kebajikan lainnya. Setelah itu, doa pun dipanjatkan. Bersyukur atas kesehatan dan kesempatan umur yang sudah diberikan, hingga bisa merayakan Idul Fitri di tahun ini. Dan semoga masih diberi kesempatan dan usia yang panjang, untuk bisa berjumpa lagi dengan Ramadan tahun depan.
Kemudian, satu per satu "asahan" dibagi. Satu "asahan" biasanya untuk 3-4 orang. Kadang, saking banyaknya warga yang membawa, satu "asahan" hanya dihadapi 2 orang saja. Jadinya seperti saling bertukar "asahan". Jika tidak sampai habis dimakan, sisa masakan dibawa pulang, atau "mberkat". Tak ada warga yang pulang ke rumah tanpa membawa "berkat".
Lebaran Paling Berkesan Sekaligus Mengharukan
Saat aku menanyakan Bancakan, dengan raut muka sedih kakak-kakakku yang tinggal di Tenggilis menjawab untuk kali ini Bancakan ditiadakan. Beberapa minggu sebelum Ramadan berlalu, sesepuh kampung bersama petugas dari Dinas Kesehatan sudah memberi sosialisasi pada warga pentingnya menjaga kesehatan bersama dengan tidak mengadakan kegiatan yang mengumpulkan orang banyak.
Alhasil, untuk pertama kalinya dalam sejarah kampungku, tidak ada tradisi Bancakan usai salat Id. Sama seperti suasana di kampungku di Malang, setelah salat, warga langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka hanya berkunjung ke saudara-saudara dekat saja.
Lebaran di tengah pandemi ini membuat kita semua harus mampu menahan rindu. Baik itu rindu pada keluarga dan orang tercinta, maupun rindu suasana lebaran seperti dulu. Mau bagaimana lagi, ini semua demi kesehatan dan keselamatan bersama.
Namun, bukan berarti lebaran kali ini harus dilalui dengan kesedihan. Melalui teknologi yang ada, saling menanyakan kabar dan bertukar cerita saja sudah cukup membuat bahagia. Meski tubuh tak bisa bersua, namun doa dan kasih sayang masih bisa kita rasa.