"Oh iya. Terima kasih Mas," kataku menerima bungkusan nasi kotak yang diberikannya.
Aku tadi memang tidak mengambil nasi kotak yang disediakan takmir masjid. Untuk berbuka puasa, aku hanya menikmati takjil kurma dan segelas kolak pisang. Bagiku itu sudah cukup. Pikirku, toh nanti di rumah masih ada hidangan dari istriku.
Kukendarai motorku ke luar masjid. Gerimis yang turun sejak sore membuat jalanan kota semakin hening. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak mengumandangkan takbiran. Terasa syahdu di keheningan malam Idul Fitri di tengah pandemi.
***
Tiba di halaman rumah, tak ada sambutan yang dari puteriku. Biasanya dia langsung keluar begitu mendengar bunyi motor berhenti di depan rumah, lalu memelukku erat.
Lamat-lamat, kudengar lantunan ayat suci Al Quran yang dibaca istriku. Satu penggalan ayat yang aku hafal betul karena dulu Ibuku sering membacanya dan menasehati diriku. Benakku langsung membayangkan wajah Ibu yang tengah duduk menghadap Al Quran, membacakan surah Ibrahim ayat 7.
"Jika kamu bersyukur, maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku padamu. Namun jika kamu ingkar, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih."
"Ibu kok sering membaca ayat ini? Apa istimewanya?" tanyaku ketika itu.
"Semua ayat Al Quran itu istimewa dan penuh kebaikan. Tapi ayat ini selalu Ibu baca berulangkali untuk mengingatkan diri Ibu sendiri, dan juga dirimu kelak agar tetap semangat bersyukur, dalam keadaan apapun," jawab Ibu menasehati.
Ditutupnya Al Quran, lalu sambil mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang, Ibu melanjutkan nasehatnya.
"Milikilah semangat burung Hud-Hud. Semangat yang berlapis-lapis membuat ia mampu terbang dari Negeri Yaman ke negeri Putri Balqis di Saba'. Tanpa semangat, tujuan yang kamu cita- citakan akan mudah luruh terterpa godaan. Selalu bersyukur atas segala nikmat yang dianugerahkan Allah akan membawa semangat hidup. Orang yang selalu mengeluh dan tidak mampu mensyukuri nikmat, dia tidak akan mampu menggapai tujuan hidupnya."