Baru saja aku menikmati hasil putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sekarang sudah mau dinaikkan lagi. Saat membayar iuran BPJS Kesehatan bulan April kemarin, tagihan BPJS Kesehatan kembali ke tarif awal, yakni sebesar Rp. 25.500 untuk kelas 3.
Tarif ini sesuai dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi. Sebelumnya sejak Januari 2020, aku rutin membayar BPJS Kesehatan dengan tarif baru menurut Perpres Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Jaminan Kesehatan, sebesar Rp. 42.000 untuk kelas 3.
Jadi, selama 3 bulan aku membayar dengan tarif baru. Itu pun kelebihan pembayaran yang sudah kulakukan belum juga dikembalikan BPJS Kesehatan.
Padahal, pemerintah sendiri berjanji akan menghitung ulang dan mengembalikan kelebihan pembayaran iuran peserta secepatnya, setelah presiden menandatangani Perpres yang akan mengaturnya. Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf, BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan pembayaran iuran dan "akan dikembalikan segera setelah ada aturan baru atau disesuaikan dengan arahan dari pemerintah."
Ternyata, aturan baru yang ditunggu BPJS Kesehatan itu berupa kenaikan ulang. Sesuai dengan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Â yang baru saja ditandatangani Presiden Jokowi, iuran BPJS Kesehatan kembali naik, dengan rincian kenaikan dan tahapannya sebagai berikut:
- Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, Tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu.
- Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
- Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
Lantas, untuk apa keputusan MA yang sudah mengikat dan wajib dilaksanakan itu jika ternyata pemerintah melawannya dengan menerbitkan Peraturan Presiden. Sebenarnya, lebih tinggi mana sih produk hukum di negara kita, keputusan Mahkamah Agung atau Peraturan Presiden?
Ini yang membuat kepala rakyat semakin pusing. Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi seolah sudah mempermainkan hukum. Susah payah Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Perpres Nomor 75/2019 ke MA, jika ternyata keputusan MA dilawan dengan menerbitkan Perpres yang substansinya sama.
Padahal, substansi kenaikan iuran inilah yang dibatalkan oleh MA. Dalam amar putusannya, MA menilai kenaikan iuran BPJS melanggar UUD 1945. Pada prinsipnya, jaminan sosial termasuk di dalamnya adalah jaminan kesehatan merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin UUD 1945. Kenaikan iuran di tengah beban hidup rakyat yang semakin berat melanggar prinsip hak asasi manusia yang semestinya mendapat jaminan dari negara.
Perpres Nomor 64/2020 juga seolah menunjukkan itikad tidak baik dari pemerintah dalam melaksanakan putusan MA yang sudah final, mengikat dan berlaku surut. Memang, ada selisih Rp. 10.000 dibanding tarif kenaikan yang pertama, sehingga Perpres yang baru ini terlihat berbeda dengan Perpres Nomor 75/2019.
Namun, secara faktual bisa dilihat ini hanya taktik pemerintah untuk mengakali dan menghindari putusan MA. Pola kerja semacam ini tak sesuai dengan ketentuan hukum tata negara yang baik, sebab tidak memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Bayangkan saja, KPCDI sudah bersiap melayangkan gugatan terhadap Perpres Nomor 64/2020. Seandainya MA mengabulkan gugatan tersebut, pemerintah harus menerbitkan Perpres pengganti. Bayangkan lagi, alih-alih mengembalikan iuran ke tarif awal, pemerintah malah menerbitkan Perpres baru yang kembali mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan sekalipun ada perubahan nominal.
Bingung kan? Seperti lingkaran setan yang tidak ada awal dan akhirannya.
Terbitnya Perpres Nomor 64/2020 ini tentu membuat wibawa Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi negara jatuh di mata masyarakat. Bagaimana mungkin keputusan MA yang mengikat itu dilanggar begitu saja oleh presiden dengan hanya menerbitkan Perpres baru, bukan untuk menyesuaikan tarif, melainkan "membatalkan" putusan MA itu sendiri.
Pada akhirnya, masyarakat bisa menilai sendiri pemerintah khususnya presiden Jokowi tak ubahnya YouTuber Ferdian Paleka, yang mengucapkan permintaan maaf atas kelakuannya, tapi bohong. Tak salah juga bila seluruh rakyat Indonesia merasa sudah terkena "prank" oleh presiden Jokowi. Iuran BPJS Kesehatan tidak naik, tapi bohong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI