"Lha, ini salah satu tantangan tersulit. Esai fotonya harus pencitraan, gak bisa dibuat natural," komentarku saat Bang Zaldy membagikan Mistery Topic ke-2 Samber THR Kompasiana. Sebagai balasan, Bang Zaldy mengirim emoticon tertawa ngakak.Â
Terus terang, aku bukan tipe orang yang bisa percaya diri saat difoto demi pencitraan. Juga bukan termasuk orang yang mau bersusah payah mengambil foto selfie untuk dipamerkan di media sosial. Ini termasuk salah satu ciri khas yang jadi kekurangan orang introvert.
Jadi, untuk melengkapi tantangan Samber THR Kompasiana kali ini, terpaksa aku mengambil foto-foto koleksi dari Danone Blogger Academy 3 saat acara bersepeda keliling desa. Boleh kan? Lagipula, sangat tidak memungkinkan aku meminta seseorang memotret diriku saat aku tengah bersepeda di jalan.
Manfaat Bersepeda Saat Berpuasa
Bersepeda menjadi salah satu aktivitasku pagi hariku setelah "pensiun" dan menekuni dunia blogging. Olahraga ringan ini masih kulakukan selama masa pandemi Covid-19.
Aku bersyukur, Kota Malang masih belum menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar secara seperti yang sudah diberlakukan di Jakarta maupun Surabaya. Itu sebabnya, selama masa pandemi hingga bulan Ramadan datang, aku masih bisa santai bersepeda keliling kota.
Dalam kondisi normal, aku biasanya bersepeda pagi hari selama kurang lebih 1 jam. Rute yang kupilih tidak terlalu jauh. Hanya memutar dari rumahku di kawasan Polehan, menuju Ijen Boulevard lalu mengarah ke Alun-alun dan kembali pulang lewat Pasar Besar.
Saat bulan Ramadan, jadwal bersepeda kuganti di sore hari. Jaraknya juga tidak terlalu jauh, cukup putar-putar keliling kompleks perumahan Sawojajar. Bagiku, itu sudah cukup untuk melemaskan otot-otot kaki dan sedikit melepas peluh-peluh di tubuh.
Bulan puasa bukan menjadi penghalang bagi umat muslim yang berpuasa untuk tetap berolahraga. Justru, dengan berolahraga tubuh kita akan tetap terasa segar meski sedang berpuasa. Buktikan saja sendiri: Mana yang lebih nyaman, saat kamu hanya tidur dan rebahan selama puasa, atau sesekali kamu selingi dengan berolahraga.
Pasti kamu akan merasa lebih segar dan nyaman usai berolaharga ringan. Ini karena saat berpuasa, sistem pencernaan tubuh kita berhenti sementara, sehingga proses detoksifikasi atau pengeluaran racun di tubuh juga ikut berhenti.
Berolahraga ringan akan mengoptimalkan sirkulasi darah dan fungsi kelenjar getah bening. Nah, otomatis proses detoksifikasi pun berjalan lancar. Selain itu, berolahraga ringan juga dapat menjaga proses metabolisme tubuh kita tetap terjaga sehingga tubuh tidak akan terasa lemas dan lesu.
Selain itu, berolahraga ringan juga dapat membuat suasana hati kita menjadi lebih bersemangat. Ketika berolahraga tubuh akan mengeluarkan hormon endorfin yang bisa menimbulkan rasa bahagia. Menurut ahli dari University of Vermont, olahraga dalam 20 menit saja sudah bisa memperbaiki suasana hati hingga 12 jam.
Pada dasarnya, semua jenis aktivitas olahraga ringan baik bagi kesehatan tubuh. Namun, ada alasan tersendiri mengapa aku memilih bersepeda dibandingkan olahraga lainnya, seperti jogging atau bulutangkis ala kadarnya di halaman rumah.
Bersepeda Mengandung Nilai Falsafah yang Tinggi
Di luar manfaat fisiknya, bersepeda itu memiliki nilai filsafat yang tinggi. Pernah dengar kutipan berikut ini?
"Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kamu harus terus bergerak."
Kalimat bijak ini ditulis Albert Einstein, ilmuwan besar pencetus teori relativitas dalam suratnya kepada anaknya Eduard, 5 Februari 1930. "Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving." Dan, kata bijak inilah yang membuatku jatuh cinta dengan olahraga bersepeda.
Hidup tidak akan banyak berguna jika kita tidak bergerak atau beraktivitas. Begitu pula saat kita sedang menjalankan ibadah puasa. Nilai ibadah puasa kita berkurang manfaatnya jika selama puasa kita hanya rebahan saja.
Bersepeda juga mengandung falsafah tinggi dalam aktivitas menulis. Ingat nggak saat kita belajar naik sepeda. Kita dengarkan segala macam nasehat dari orangtua, saudara atau teman yang sudah berpengalaman naik sepeda.
"Nanti pedalnya diinjak dulu ya,"
"Pokoknya jangan takut jatuh, itu sudah biasa,"
"Tangannya jangan tegang kalau megang setang, santai saja,"
Dan berbagai macam nasehat serta tutorial naik sepeda.Tapi, segala macam informasi dan pelajaran teknis itu tidak ada manfaatnya jika kita tidak mulai mengayuh pedal.
Begitu pula dengan menulis. Kita mungkin pernah membaca ratusan artikel yang mengupas tuntas bagaimana cara menulis yang baik, yang mengatakan menulis itu mudah. Tapi sama seperti saat kita belajar naik sepeda, itu semua tidak akan berguna jika kita tidak mulai menulis.
Di luar itu semua, menurutku bersepeda itu olahraga sederhana, tapi mewah. Hampir setiap orang mungkin bisa membeli sepeda, tapi mereka enggan membeli dan mengendarainya. Nah, bukankah ini kemewahan tersendiri?
Apalagi di bulan puasa saat pandemi, bersepeda menjadi kian terasa mewah karena berbagai pembatasan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H