Maka, ini bukan lagi kesalahpahaman, tapi kebodohan yang disengaja. Bagaimana mungkin hewan yang dikonotasikan najis dan haram bersanding dengan frasa "100% Halal"?
Masih mending warga Bali menamakan kuliner "Nasi Babi", lalu di bagian bawahnya tertulis "100% Haram". Ini menjadi pertanda bagi orang Islam bahwa ada kandungan bahan haram dalam kuliner tersebut, di luar penamaannya yang mencatut hewan babi yang jelas-jelas najis dan haram bagi umat Islam.
Lain halnya dengan "nasi anjing". Sekalipun memang benar seluruh bahan dalam nasi bungkus itu halal, tapi hewan anjing sudah memiliki konotasi tetap dalam syariat Islam: najis dan haram". Tak bisa serta-merta pihak yayasan menempelkan klaim 100% halal begitu saja.
Sedekah Juga Ada Etikanya
Niat baik pihak Yayasan Qahal Family patut kita hargai. Karena menurut Nita, tidak sekali ini mereka memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang tidak mampu.
"Kayak dulu waktu gempa Yogyakarta kita turun juga, buka dapur umum. Lalu (saat wabah) COVID-19 ini kita bergerak. Saya pun ngirim APD ke beberapa kota. Waktu kerusuhan kemarin di Bawaslu, kami beri bantuan vitamin, air, dan buah-buah ke polisi. Jadi kita hari ini apa yang bisa kita lakukan," jelas Nita.
Meski begitu, dalam bersedekah juga ada etika. Dalam bersedekah ada adab yang harus dikedepankan lebih dulu dibanding materi sedekahnya.
Niat baik saja tidak cukup jika pemberi sedekah tidak memiliki adab dan etika saat memberikannya. Sebesar apapun sedekah yang diberikan juga tidak ada harganya jika yang menerima sedekah tersinggung dengan cara pemberiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H