Bagi sebagian umat Islam, Ramadan tahun ini diselimuti banyak kesedihan. Tak ada buka puasa bersama, tak boleh sholat tarawih berjamaah.
Apalagi bagi mereka yang di perantauan. Mereka tak bisa lagi mudik lebaran. Pemerintah sudah memutuskan untuk melarang mudik, demi memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Ketika kita sudah terbiasa dengan ritual dan suasana Ramadan yang ceria, keadaan ini sulit untuk kita terima. Namun, alih-alih terjebak dalam lautan kesedihan, kita bisa menjalani Ramadan tahun ini dengan perspektif baru.
Seperti apa?
Paradoks Ramadan Tahun-Tahun Sebelumnya
Coba ingat-ingat, bagaimana pengeluaran kita di Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Jujur saja, setiap kali bulan Ramadan datang, pengeluaran kita mendadak selalu bertambah, betul tidak?
Aneh kan, di bulan yang semestinya kita bisa berhemat karena hanya makan dan minum di malam hari saja, kita malah berlaku boros. Termasuk saya sendiri, yang kadang masih sering tidak tahan untuk membeli makanan yang berlebih, terutama makanan yang memang hanya ada/muncul pas kala bulan Ramadan saja.
Terhadap sikap konsumtif itu, kita selalu mencari pembenaran bahwa berbelanja banyak bahan makanan itu untuk persediaan berbuka puasa atau untuk sahur nanti. Kita tak mau tahu apakah makanan-makanan yang kita beli itu bisa kita habiskan atau kita buang percuma sisanya.
Inilah yang dinamakan paradoks Ramadan. Ada kontradiksi antara praktik fiqh Ramadan dengan praktik konsumtif kita selama menjalankan ibadah puasa. Padahal, hakekat ibadah puasa adalah upaya pembelajaran bagi kita untuk menahan nafsu makan, minum, seksual dan hawa nafsu lainnya.
Kalau hanya sekedar tidak makan, minum dan menahan nafsu seksual saja, kambing juga bisa. Karena kita adalah makhluk yang diciptakan dengan akal pikiran, maka perintah untuk menahan nafsu tersebut juga mencakup nafsu untuk bersikap berlebihan, terutama saat berbelanja dan makan.
Perilaku Konsumtif dan Hedonis Saat Ramadan Tiba
Sikap berlebihan ini misalnya muncul dalam wujud keinginan berbelanja makanan yang biasanya tidak muncul di luar bulan Ramadan. Kolak pisang, kurma atau aneka ragam makanan khas Ramadan lainnya. Sikap berlebihan lainnya adalah saat kita berbelanja makanan dalam jumlah banyak, hingga akhirnya mungkin sekali banyak yang terbuang dan mubadzir.
Entah mengapa, kita seakan sulit untuk menghindar dari sikap konsumtif dan gaya hidup hedonis justru saat bulan Ramadan tiba. Ada saja godaan untuk membeli ini atau itu ketika waktu untuk berbuka puasa telah tiba.
Seakan-akan ketika waktu berbuka tiba, kita harus membalas dendam. Jadinya, bulan Ramadan malah kita maknai sebagai ritual menahan lapar dan dahaga belaka. Idealnya, ketika seseorang berpuasa dengan cara yang benar, seharusnya ketika berbuka, dia tidak berlebihan atau balas dendam pada makanan.
Sementara kita tahu, Allah melalui firman-Nya dalam Al-Qur'an surah Al A'raf ayat 31 mengajarkan pada kita bahwa berlebihan akan menyeret kita pada kemubaziran, dan hal tersebut akan menjadikan kita berkawan dengan syaitan.
Penyebab perilaku boros dan konsumtif yang kita lakukan saat puasa Ramadan salah satunya muncul karena kita terlalu sering menghabiskan waktu diluar. Godaan itu datang ketika mata kita jelalatan melihat berbagai macam barang yang dipajang di toko atau outlet-outlet di pusat perbelanjaan.
Perilaku konsumtif itu juga dapat muncul saat kita -- dengan alasan silaturahim- mengadakan acara buka puasa bersama. Sah-sah saja kita mengadakan buka bersama dengan niat untuk menyambung tali silaturahim. Tapi akan lain jadinya jika acara buka bersama itu kita lakukan hampir setiap hari. Apalagi acara buka bersamanya di restoran atau cafe mewah. Memangnya pernah kita buka bersama di warteg atau warung makan pinggir jalan?
Puasa mengajarkan umat Islam untuk dapat memilah antara kebutuhan dan keinginan. Â Puasa juga mengajarkan kita untuk memiliki empati kepada mereka yang tidak pernah mendapat nikmat makanan berlebih dan sehari-hari bersahabat dengan rasa lapar.
Pandemi Covid-19 Menghindarkan Kita Dari Perilaku Konsumtif Saat Puasa
Ibadah puasa Ramadan di tengah pandemi Covid-19 ini bisa mengembalikan hakekat puasa yang sebenarnya. Tidak adanya pasar takjil bisa menjadi penahan diri kita untuk tidak membeli makanan secara berlebihan. Larangan berbuka puasa bersama juga bisa membantu kita untuk lebih berhemat, apalagi mengingat kondisi perekonomian kita yang nyaris tenggelam diterjang virus corona.
Berbagai batasan yang kita alami saat menunaikan ibadah puasa tahun ini justru membawa kebaikan pada nilai ibadah puasa kita. Kelebihan rejeki yang biasanya kita habiskan untuk membeli makanan berlebih bisa kita sedekahkan pada mereka yang lebih membutuhkan.
Di bulan Ramadan ini, setiap perbuatan baik dihitung sebagai sedekah. Dan, kata Rasulullah SAW, sedekah yang paling baik itu adalah yang dilakukan di bulan Ramadan.
Cara terbaik untuk tetap tenang menjalankan ibadah puasa di tengah kabut kecemasan pandemi Covid-19 adalah fokus pada saat ini. Terima kenyataan apa adanya, sadarilah bahwa diri kita baik-baik saja. Kemudian, maknai hakekat puasa itu dengan sebenarnya.
Memaknai puasa Ramadan secara benar di tengah pandemi Covid-19 tak hanya menghindarkan kita dari perilaku konsumtif, boros dan gaya hidup hedonis. Hal ini juga akan membuat kita lebih menjiwai substansi dari puasa Ramadan itu sendiri, yakni La'allakum Tattaquun, supaya kita lebih bertakwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H