Tahun ini adalah tahun belajar online. Remote Teaching, Distance Learning, Learning from Home atau apapun istilah kerennya untuk menyebut proses belajar mengajar  yang tidak ada kontak fisiknya.
Pandemi Covid-19 mau tidak mau membuat setiap institusi pendidikan harus ditutup. Siswa diliburkan, pengajaran tatap muka dihentikan yang mungkin akan berlanjut hingga akhir tahun akademik.
Proses belajar mengajar akhirnya dilanjutkan secara online. Didukung semakin mutakhirnya teknologi digital, sepertinya belajar online mudah dilakukan. Namun praktiknya tidak demikian.
6 Alasan Belajar Online Sulit Diterapkan
Belajar online bukannya tidak mungkin bisa diterapkan. Tapi proses ini menjadi sulit karena ada banyak alasan yang tidak memiliki solusi langsung. Berikut 6 alasan utama mengapa belajar online belum dapat diterapkan di Indonesia.
1. Kesenjangan Digital
Saat pandemi Covid-19 pertama kali menyerang hingga semua sekolah diliburkan, kita cenderung berasumsi bahwa setiap siswa maupun orangtuanya saat ini memiliki komputer atau laptop dan telepon pintar. Tetapi kita harus ingat bahwa ada rumah tanpa komputer/laptop, ada orangtua yang tidak memiliki telepon pintar.
Seandainya mereka punya, belum tentu tempat tinggal mereka memiliki infrastruktur digital yang memadai. Seandainya ada, belum tentu mereka bisa mengakses internet setiap hari. Kesenjangan digital di negara kita begitu lebar, segaris lurus dengan kesenjangan ekonomi masyarakat.
2. Literasi Digital Guru
Beberapa hari yang lalu, saya diminta memberi materi singkat dan memandu kelompok guru yang belum bisa menggunakan platform Google Classroom. Ada pula peserta pelatihan Gapura Digital yang mengirim pesan dan minta diajari cara menggunakan aplikasi Zoom untuk mengajar murid-muridnya.
Ini cuma contoh kecil yang memperlihatkan tidak semua guru memiliki pemahaman atau literasi digital yang sepadan. Mengajar secara online membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman yang lewat tentang teknologi yang terlibat.
Sayangnya, banyak guru di Indonesia masih hidup di zaman dinosaurus. Maaf, kalimat saya pahit, tapi jujur saja kita harus mengakui kebenarannya bukan?
Apakah mungkin melatih guru-guru kita untuk secepatnya menguasai teknologi digital terkini? Ya, itu bisa dilakukan dengan relatif cepat. Â Berita baiknya, mengajari para guru tentang literasi digital dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang sama yang akan mereka gunakan dengan siswa mereka.
3. Literasi Digital Siswa
Banyak yang bilang para siswa sekarang -- mereka yang kerap disebut Gen Z -- adalah digital natives. Sejak lahir mereka sudah mengenal dan akrab dengan dunia digital.
Faktanya tidak seperti itu. Percaya atau tidak, anak-anak yang sepenuhnya menguasai berbagai gim, sering menggunakan jejaring sosial macam Instagram atau TikTok sering tidak dapat melakukan tugas-tugas digital yang paling sederhana.
Anak saya sendiri masih bingung bagaimana melampirkan file ke email, atau melampirkan berkas tambahan di tugas Google Classroom-nya. Sementara di satu sisi anak saya begitu menguasai aplikasi TikTok maupun aplikasi media sosial lainnya.
Tak hanya siswa kelas dasar dan menengah, saya yakin banyak mahasiswa yang tingkat literasi digitalnya masih rendah. Saat mengajar di kelas virtual Gapura Digital, saya pernah mendapati seorang anak muda (saya asumsikan dia mahasiswa) bertanya bagaimana mematikan tombol microphone di aplikasi Google Hangout Meets!
Sama yakinnya saya bahwa banyak mahasiswa masih bertanya-tanya bagaimana cara bergabung di Google Classroom tanpa undangan email langsung.
4. Komitmen Guru
Dalam pendidikan, pengetahuan bukan satu-satunya faktor. Dedikasi dan komitmen guru sangat menentukan keberhasilan dan kesuksesan pendidikan itu sendiri.
Proses belajar mengajar secara online memang tidak membutuhkan banyak waktu sebagaimana kelas tradisional. Justru itu, karena tidak butuh banyak waktu, komitmen dan dedikasi yang kuat sangat diperlukan.
Kelas online membutuhkan lebih banyak pekerjaan, lebih banyak perhatian, dan lebih banyak komitmen daripada kelas tatap muka. Bagi guru, mereka harus mempersiapkan materi dan memikirkan apakah materi itu bisa sepenuhnya dipahami siswa tanpa harus mereka dampingi secara langsung.
5. Suasana Lingkungan Belajar
Saat kelas tatap muka di sekolah dalam kondisi normal, baik siswa maupun gurunya bisa fokus karena tidak ada gangguan di lingkungan pembelajaran. Hal ini tidak bisa kita dapatkan saat mereka belajar online.
Seandainya semua siswa sudah memiliki perangkat maupun akses internet, banyak dari mereka tidak memiliki lingkungan belajar yang memadai di rumah. Tak ada kamar pribadi yang bisa melindungi privasi belajar mereka. Sementara adik, kakak, maupun orang tua dapat membuat gangguan yang tak dapat dicegah atau dikendalikan siswa.
6. Metode Penilaian Siswa
Bagaimana cara menilai kemajuan siswa saat mereka belajar online? Tanyakan itu pada guru dan mereka akan serempak mengatakan: Sulit!
Kompetensi siswa dalam memahami materi yang diajarkan secara online tidak bisa diukur secara pasti. Saat mereka mengerjakan tugas online dari rumah, saya yakin ada campur tangan orangtua.
Berbeda jika mereka ulangan atau ujian di sekolah. Mereka mengerjakan sendiri, sehingga guru bisa menilai seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.
Itu sebabnya di balik gegap gempitanya siswa merasa senang karena Ujian Nasional dibatalkan lebih awal karena pandemi Covid-19, terselip rasa khawatir dari sebagian orangtua, bagaimana mereka bisa tahu keberhasilan putra-putrinya dalam belajar?
Kesimpulan
Bagaimanapun juga, dengan situasi seperti sekarang ini, pembelajaran online mutlak dilakukan. Keenam alasan yang saya kemukaan bukan bermaksud mengecilkan atau menolak model pembelajaran online.
Hanya saja, seyogyanya para pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia bisa mengevaluasi, sejauh mana keberhasilan pembelajaran online yang sudah kita lakukan selama masa pandemi Covid-19 ini. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus bisa mencari model pembelajaran online yang bisa mengakomodir kebutuhan setiap siswa dengan segala keterbatasan mereka.
Penting untuk diperhatikan, pembelajaran online tidak bisa dilakukan dengan hanya meletakkan kamera dan melakukan apa yang guru dan siswa lakukan di kelas. Atau mengunggah presentasi dan dokumen materi belajar lalu memberikan pekerjaan rumah kepada siswa.
Jika hanya itu yang kita pikirkan, pendidikan kita akan jauh tertinggal. Anak-anak kita tidak akan berkembang, baik dari sisi pengetahuan maupun karakter dan kepribadian digital mereka.
Jangan ingat 2020 sebagai "tahun di mana kita kehilangan sekolah", tetapi sebaliknya, ingatlah 2020 sebagai "tahun ketika kita mulai belajar mengajar secara online."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H