Di saat masyarakat kian cemas dan paranoid menghadapi pandemi covid-19, pemerintah malah terus menebar pesona. Baru-baru ini, pemerintah berjanji akan memberikan insentif subsidi selisih bunga kredit kepemilikan rumah (KPR) kepada masyarakat berpenghasilan rendah selama 10 tahun. Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa, 24 Maret 2020.
"Jika bunga di atas 5 persen maka selisih besaran bunganya akan dibayar pemerintah," kata Presiden melalui video conference.
Selain itu pemerintah juga memberikan subsidi bantuan uang muka bagi yang akan mengambil kredit rumah bersubsidi. Anggaran yang telah disiapkan terkait kedua hal itu sebesar Rp 1,5 triliun.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Jokowi juga menjanjikan kelonggaran kepada masyarakat yang memiliki cicilan kendaraan bermotor untuk tujuan produktif. Termasuk di antaranya adalah para sopir online dan nelayan.
"Keluhan yang saya dengar juga dari tukang ojek, supir taksi yang sedang memiliki kredit motor atau mobil, atau nelayan yang sedang memiliki kredit saya kira sampaikan ke mereka tidak perlu khawatir karena pembayaran bunga atau angsuran diberikan kelonggaran selama 1 tahun," kata Presiden membuka rapat terbatas soal Pengarahan Presiden kepada Para Gubernur Menghadapi Pandemik Covid-19 melalui video conference, Selasa, 24 Maret 2020.
Sebagai rakyat biasa, terus terang saya semakin bingung dengan arah kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi corona ini. Rakyat membutuhkan sesuatu yang bisa mereka peroleh dalam jangka pendek, bukan kebijakan yang jauh dari jangkauan tangan masyarakat.
Apakah pemerintah mengira rakyat masih memikirkan kredit rumah bersubsidi, sementara aktivitas, pekerjaan dan mata pencaharian mereka terganggu akibat wabah penyakit covid-19 ini?
Jangankan ingin mengambil rumah bersubsidi, memikirkan kebutuhan sehari-hari saja sudah pusing setengah mati.
Pemerintah meminta masyarakat untuk beraktivitas di rumah saja. Bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah. Namun, di satu sisi pemerintah tidak memikirkan bagaimana masyarakat bisa menanggung biaya isolasi mandiri.
Saat Pandemi Corona, Pulsa Menjadi Kebutuhan Utama
Dengan banyak berdiam diri di rumah, itu artinya semakin membengkak pula biaya hidup sehari-hari. Tak hanya kebutuhan pangan saja yang harus dipikirkan, melainkan juga kebutuhan pulsa.
Jika dalam kondisi biasa, pulsa atau kuota internet masih bisa dibatasi dan termasuk kebutuhan sekunder, dalam situasi pandemi covid-19 saat ini pulsa menjadi kebutuhan pokok. Terlebih bagi anak-anak sekolah.
Belajar online sudah tentu membutuhkan kuota internet. Memang, ada beberapa platform seperti Google G-Suite for Education yang salah satu fiturnya bisa diakses secara offline. Namun, secara umum anak-anak membutuhkan kuota internet yang lumayan besar untuk memenuhi target belajar mereka.
Pemerintah sendiri sudah membatalkan Ujian Nasional (UN) tahun 2020. Namun, siswa tetap diharuskan mengikuti ujian sekolah yang dilakukan secara online. Sekalipun menurut kebijakan terbaru dari pemerintah terkait pandemi corona, ujian sekolah tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh.
Seperti putri saya yang duduk di kelas 9 SMP. Senin besok (30/3) dia harus meneruskan Penilaian Akhir Tahun (PAT) yang tertunda karena sekolah mendadak harus diliburkan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Pihak sekolah sudah menyiapkan mekanisme ujian jarak jauh (online), yakni melalui portal resmi sekolah.
Sementara untuk belajar online, putri saya mengerjakan tugas sekolah dan pembelajaran online melalui Google Classroom.
Di sinilah kebutuhan pulsa dan kuota internet menjadi kebutuhan utama. Bagi orangtua yang rumahnya sudah dilewati jaringan fiber optik dan berlangganan internet kabel, hal ini tentu tidak jadi masalah. Namun, bagaimana dengan orangtua siswa yang mengandalkan jaringan internet dari operator seluler? Kuota internet mereka tentu akan membengkak, dan pengeluaran rumah tangga akan semakin besar.
Saya pernah menghitung, untuk belajar online lewat Google Classroom, rata-rata dalam satu hari membutuhkan kuota internet sekitar 200 MB. Bisa dibayangkan sendiri, untuk sepuluh hari belajar online di rumah, siswa bisa menghabiskan kuota 2 GB atau sekitar 25 ribu, tergantung operator selulernya.
Ini baru kuota internet untuk belajar, belum kuota internet untuk bekerja dan hiburan selama di rumah saja.
Ketika Layanan Wifi.id Ditutup dengan Alasan Mengurangi Penyebaran Virus Corona
Ambil contoh saya pribadi. Sehari-hari, pekerjaan saya tak lepas dari perangkat digital dan internet. Selama ini, saya tertolong dengan kehadiran wifi.id home yang dipasang Telkom Indonesia di dalam rumah.
Dengan wifi.id home ini, saya hanya perlu membeli voucher wifi.id seharga 50 ribu untuk pemakaian internet selama 30 hari untuk pemakaian satu user. Di rumah, voucher tersebut saya gunakan bergantian dengan putri saya yang membutuhkannya untuk belajar online. Sedangkan untuk kebutuhan internet di luar rumah saya membeli kuota "ketengan" dari operator seluler.
Mendadak, saat mengakses wifi.id home sore tadi (29/3), beranda halaman login menampilkan pengumuman bahwa untuk sementara wifi.id ditutup karena mengikuti himbauan pemerintah. Alasannya, untuk mengurangi keramaian dalam rangka mencegah penyebaran virus corona.
Konyolnya lagi, layanan wifi.id ini kemudian diganti dengan penawaran Indihome Learning From Home. Harganya lumayan mahal untuk ukuran masyarakat kelas menengah.
Dalam pikiran saya pribadi, ada kesan Telkom memanfaatkan pandemi covid-19 ini untuk memasarkan produk Indihome. Alasan yang dikemukaan saat memutus layanan wifi.id dan wifi.id home benar-benar tidak masuk akal.
Apa hubungannya akses wifi.id dengan keramaian?
Dalam kondisi normal, memang banyak masyarakat terutama anak-anak muda yang ramai berkumpul di hotspot wifi.id. Biasanya hotspot ini terdapat di area plasa telkom atau ruang publik lainnya.
Namun, di saat pandemi covid-19, bukankah banyak area publik yang ditutup? Bukankah Telkom sendiri bisa membatasi akses masyarakat ke hotspot yang ada di wilayah kerja mereka?
Sebagai BUMN, sudah seharusnya Telkom membantu masyarakat dalam menyediakan kebutuhan internet, terutama untuk keperluan belajar anak-anak sekolah. Bukan dengan menawarkan produk mereka, meski dengan iming-iming harga promo dan gratis berlangganan satu bulan.
Pemerintah mestinya sadar dan bisa mengambil kesimpulan, mana yang lebih dibutuhkan masyarakat dalam kondisi darurat pandemi covid-19. Apakah subsidi rumah, atau subsidi pulsa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H