Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suka Utang Lupa Bayar, Sampai Utang Memisahkan Kita

11 Februari 2020   22:14 Diperbarui: 11 Februari 2020   22:39 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tahun lalu, saya dihubungi seseorang perempuan. Lewat percakapan di telepon, perempuan ini mengatakan dua tahun sebelumnya dia menyuruh suaminya (sebut saja Pak Fulan) untuk membeli kopi yang saya jual. Namun,  karena tidak sempat ketemu, suaminya lupa untuk membayar.

Saya ingat, memang saya pernah janji ketemuan (COD) dengan pak Fulan ini di asrama tentara. Tapi berhubung pak Fulan sibuk dan saya juga sibuk, kami tidak sempat bertemu sesuai janji. Akhirnya, kopi saya titipkan di provost dan saya tinggali pesan supaya pembayarannya nanti ditransfer saja.

Dua tahun kemudian, istri dari pak Fulan ini baru menghubungi saya, dan minta maaf karena dia belum membayar kopi yang sudah dibeli. Katanya, dia sempat kehilangan nomor telpon saya. Ketika dapat kontak saya lagi, dia langsung menghubungi dan meminta bertemu untuk membayar utangnya dua tahun lalu.

Masyaallah, saya merasa seperti disambar petir dengan pelajaran yang saya dapat kali ini. Nilai utang Bu Fulan tidak seberapa, cuma 40 ribu! Lagipula, setelah lama belum ada kabar dari ibu ini maupun suaminya, saya pun mengikhlaskannya.

Tapi ibu ini, istri pak Fulan, mengatakan pada saya bahwa dia merasa selalu dikejar tanggungan. Selama dua tahun dia selalu ingat dan merasa ada utang yang belum dibayarkan.

Waktu saya bilang saya sudah ikhlas, Bu Fulan memaksa untuk membayar. Karena itu adalah utangnya. Katanya, dia tidak mau kelak diminta pertanggungjawaban di akhirat karena ada utang yang belum lunas, meskipun nilainya kecil.

Terus terang, seumur hidup saya belum pernah menjumpai contoh dan pelajaran yang ditunjukkan Bu Fulan. Dan saya yakin, Bu Fulan adalah manusia langka. Dan kalau tidak karena iman, atau kepercayaan bahwa utang itu akan ditagih, Bu Fulan tentu tidak akan susah payah menunggu 2 tahun lamanya hanya untuk membayar utang 40 ribu rupiah.

Berapa banyak sih orang yang ingat akan utangnya dan berniat membayar setelah sekian lama waktu berlalu? Berapa banyak orang yang berniat membayar utang, sekalipun nilai utangnya begitu kecil dan remeh?

Alih-alih seperti Bu Fulan, saya yakin kebanyakan orang akan pura-pura lupa dengan utangnya. Kalau dicari oleh orang yang mengutangi, mereka selalu menghindar. Seperti menderita fobia saja.

Seandainya terpaksa bertemu, mereka tidak pernah membicarakan utangnya. Dan kalau diingatkan dan ditagih, mereka selalu  mengelak.

Masih banyak kebutuhan lah, belum punya uang lah, tunggu gajian dulu lah, dan seribu satu macam alasan lainnya. Apalagi jika nominal utangnya cuma puluhan ribu. Paling juga mereka akan menjawab:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun