Usulan Anggota DPR Komisi VI Rafly Kande dari Fraksi PKS asal Aceh agar ganja jadi komoditas ekspor boleh saja dibilang ngawur, tidak tahu hukum, lelucon garing atau cuma sekedar cari panggung. Jika ditelaah lebih jauh, usulan tersebut bisa dibenarkan dan memiliki potensi ekonomi yang cukup besar.
Tapi harap dicatat dulu, mengekspor ganja bukan berarti melegalisasi ganja sepenuhnya. Menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor bukan berarti membuat ganja bisa diperjualbelikan secara bebas untuk kemudian digunakan secara bebas pula di Indonesia.
Legalisasi ganja memang bertentangan dengan Konvensi Tunggal PBB 1961 tentang Narkotika dan Obat-obatan terlarang. Namun, konvensi ini memberi celah agar ganja bisa dijadikan komoditas ekspor.
Bagaimana ceritanya?
Konvensi Tunggal PBB 1961 menempatkan pembatasan yang sama pada budidaya ganja yang dilakukan pada budidaya opium. Pasal 23 dan Pasal 28 mengharuskan setiap pihak (negara yang menyetujui konvensi) untuk membentuk lembaga pemerintah guna mengendalikan budidaya ganja.
Para pembudidaya harus menyerahkan hasil panen total mereka kepada lembaga tersebut, yang harus membeli dan mengambil kepemilikan fisik mereka dalam waktu empat bulan setelah akhir panen.Â
Lembaga ini kemudian memiliki hak eksklusif untuk "mengimpor, mengekspor, perdagangan grosir dan mempertahankan stok selain yang dimiliki oleh produsen."
Pasal 28 juga secara khusus mengecualikan varietas tanaman ganja untuk industri rami dari peraturan ini, dengan menyatakan, "Konvensi ini tidak berlaku untuk penanaman tanaman ganja secara eksklusif untuk keperluan industri (serat dan biji) atau tujuan hortikultura." Negara-negara penghasil rami termasuk Cina, Rumania, Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Hongaria.
Kalau begitu, apakah budidaya tanaman ganja di Indonesia bisa dilegalkan?
Bisa saja. Tapi harus ada lembaga yang mengawasinya dengan ketat sesuai dengan aturan UN Single Convention 1961 ini.Â
Misalnya, di Amerika Serikat, National Institute on Drugs Abuse (NIDA) mengelola kontrak dengan University of Mississippi untuk menumbuhkan tanaman ganja seluas 1,5 hektar (6.000 m) setiap tahun.
Ganja dari NIDA ini adalah satu-satunya sumber pasokan ganja yang sah untuk keperluan medis dan penelitian di Amerika Serikat. Di luar ganja yang dipasok dari NIDA dinyatakan ilegal dan wajib disita dan dilenyapkan.
Indonesia juga bisa mencontohnya. Misalnya, untuk pengawasan dan pengelolaan (ekspor dan penyediaan pasokan) bisa diserahkan pada Badan Narkotika Nasional (BNN). Lembaga ini kemudian menunjuk pihak ketiga untuk menyediakan lahan budidaya ganja.
Selanjutnya, produk ganja dari budidaya yang dikontrol BNN inilah yang menjadi ganja legal dan bisa diekspor atau diperdagangkan secara khusus, terutama untuk keperluan medis dan penelitian.
Lantas, apakah ada negara yang mau menerima ekspor ganja?
Banyak negara sudah melegalkan ganja untuk keperluan medis dan beberapa negara lainnya sedang mempertimbangkan untuk mendekriminalisasi atau melegalkan penggunaannya untuk semua tujuan, termasuk untuk tujuan kesenangan (recreational use).
Negara mana saja yang siap menerima ekspor ganja dari Indonesia?
1. Uruguay
Uruguay adalah negara pertama yang melegalkan ganja sepenuhnya, baik untuk keperluan medis maupun rekreasi.
2. Kanada
Setelah Uruguay, Kanada menjadi negara kedua yang melegalkan ganja untuk kesenangan pribadi sejak tahun 2018, meskipun bukan merupakan legalisasi menyeluruh.Â
Setiap provinsi diizinkan untuk mengatur penggunaan, budidaya, dan penjualan untuk warganya. Beberapa provinsi di Kanada menerapkan peraturan yang lebih lunak.
3. Republik Ceko
Negara ini adalah hot spot-nya pariwisata ganja di Eropa. Meskipun hanya ganja medis yang legal, undang-undang narkoba pemerintah Ceko yang longgar membuat negara ini menjadi surga bagi penggemar ganja.
4. Jerman
Pada 2017, Jerman memberi lampu hijau untuk pengobatan dengan ganja medis. Menurut pemerintah, dokter diperbolehkan meresepkan ganja untuk pasien yang sakit yang tidak memiliki alternatif terapi lain.
Undang-undang pemerintah Jerman saat ini menetapkan bahwa ganja medis harus mengandung kurang dari 0,2% dari THC. Sedangkan penggunaan ganja untuk rekreasi masih dilarang, meskipun kepemilikan dosis kecil biasanya tidak dituntut sebagai kejahatan.
5. Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, sudah ada 10 negara bagian yang melegalkan ganja untuk rekreasi, dan 33 negara bagian sudah melegalkan ganja untuk keperluan medis.
6. Selandia Baru
Pada Desember 2018, Selandia Baru mengeluarkan undang-undang yang mengizinkan penggunaan ganja medis. Mereka juga mengumumkan bahwa selama pemilihan umum tahun 2020, pemerintah Selandia Baru akan mengadakan referendum yang mengikat mengenai legalisasi dan regulasi ganja.
7. Australia
Sejak 2016 pemerintah Australia sudah melegalkan ganja medis. Baru-baru ini, pemerintah Australia mengijinkan warganya untuk menanam ganja maksimal 2 tanaman di rumah mereka masing-masing.
Lalu, seandainya Indonesia bisa mengekspor ganja, bagaimana potensi ekonominya?
Secara global pasar ganja diproyeksikan tumbuh secara eksponensial selama 5 tahun ke depan. Sebuah laporan oleh Deloitte memperkirakan bahwa pasar ganja global bernilai sekitar US $ 100 miliar dan akan terus tumbuh secara eksponensial selama 5 tahun ke depan hingga sekitar US $ 194 miliar pada tahun 2025.
Melihat potensi ekonomi yang demikian besar, usulan dari Rafly Kande bisa dipertimbangkan. Apalagi mengingat iklim di Indonesia sangat memungkinkan untuk budidaya ganja.Â
Dan wajar apabila Rafly Kande mengusulkan ekspor ganja mengingat Aceh adalah daerah yang dikenal memiliki lahan budidaya ganja terbesar di Indonesia.
Namun, sekali lagi harap diingat, ekspor ganja bukan berarti legalisasi ganja sepenuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H