"Kalau ketahuan gimana?" tanyaku begitu mendengar ide "gila" yang dilontarkan Ulik, teman satu kontrakan.
"Ah, cuek saja," jawab Ulik santai.
Saat itu Ulik, dan beberapa teman satu kontrakan melontarkan ide gila. Mereka berencana mendatangi resepsi pernikahan yang digelar di gedung serbaguna kampus malam nanti. Saat melintasi Samantha, sebutan untuk gedung serbaguna kampus, kami bertiga melihat ada janur kuning melengkung, tanda bakal ada resepsi pernikahan.
Yang jadi masalah adalah tidak ada satupun dari teman-teman itu mendapat undangan pernikahan, atau kenal dengan mempelai atau keluarga mempelai.
"Gak bakal ketahuan Mam, santai saja. Aku jamin 100 persen," kata Tommy.
"Bagaimana ceritanya kita datang tanpa undangan tapi tidak akan ketahuan? Terus kalau pas waktunya salaman sama mempelai, apa kita tidak ikut menyalami?" tanyaku masih tidak yakin.
"Kamu kayak gak pernah datang ke resepsi saja, Mam. Tamu resepsi itu tidak pernah ditanya undangannya mana. Gak kayak di bioskop yang selalu diperiksa tiketnya.Â
Lagipula, kalau nanti harus bersalaman dengan mempelai, mereka juga gak bakal tanya-tanya. Paling-paling si mempelai pria akan berpikir, '"Ini mungkin teman istriku"' dan si mempelai perempuan akan berpikir yang sama, "'Ini mungkin teman suamiku"'. Begitu lho, " jelas Ulik.
Benar juga sih. Tak mungkin para tamu ditanya undangannya mana, kecuali itu resepsi pernikahannya anak pejabat penting atau konglomerat yang semua tamunya VVIP. Dan mempelai atau keluarganya juga tidak akan kenal satu per satu dengan tamu-tamu yang datang.
"Terus kita di sana ngapain?"
"Ya makan-makan lah. Kan itu tujuan utama kita menyusup ke kondangan," jawab Ulik sambil nyengir.
"Sekarang kan tanggal tua Mam. Kamu sendiri kemarin juga ngeluh belum dapat kiriman. Mumpung bulan ini lagi banyak kondangan, gak ada salahnya kita datang, memberi selamat lalu ikut makan-makan," kata Tommy ikut menjelaskan.
"Masalahnya Tom, kalau ke kondangan, kita juga harus nyiapin amplop. Lha kita semua kan lagi bokek. Masak kita datang dengan tangan kosong?"
"Lik, kasih Himam amplopnya," kata Tommy menoleh ke Ulik sambil nyengir lebar.
Ulik lalu merogoh tas, dan mengeluarkan segepok amplop kecil yang masih baru.
"Nih, kamu butuh berapa amplop?" kata Ulik diiringi tawa Tommy.
"Isinya?" kataku tak percaya Ulik dan Tommy sudah menyiapkan semuanya.
Ulik mengambil satu amplop, lalu mengeluarkan isinya yang ternyata berisi selembar kertas kecil yang terlipat rapi. Dibukanya kertas kecil tersebut dan kulihat ada tulisan
"Terima Kasih dan Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah wa Rahmah"
"Sialan kalian semua," kataku mau tak mau tertawa lebar. Tommy dan Ulik ikut tertawa.
"Jadi, mau ikut gak?" tanya Ulik memasukkan kembali amplop berisi ucapan terima kasih itu.
Mendengar penjelasan Ulik dan Tommy, aku merasa tertarik dan ingin ikut dalam rencana "gila" tersebut. Rasanya seperti mencoba uji nyali. Namun, rasa malu masih menyelimuti akalku.
"Udah, gak usah malu. Cuek saja," kata Ulik.
Akhirnya, rasa penasaran mengalahkan rasa malu. Malam itu, kami bertiga pun ikut larut dalam antrian para tamu yang berpakaian rapi. Saat tiba di depan Pagar Ayu, dengan gaya santai seolah memang sudah diundang, Ulik langsung mengisi buku tamu. Setelah menerima souvenir, Ulik merogoh saku dan memasukkan amplop ke kotak yang sudah tersedia.
Saat tiba giliranku, aku memaksakan senyum termanis yang bisa kubuat. Kulihat 3 Pagar Ayu yang berjejer di belakang meja menyambut senyumku dengan senyum yang tak kalah manis, membuat wajah mereka yang sudah terias sempurna menambah kecantikan dan keanggunan mereka.
 Aku lalu mengikuti Ulik dan Tommy yang sudah melangkah masuk ke dalam ruang resepsi. Selayang pandang, kulihat banyak tamu undangan sudah mengantri di meja-meja makanan.
Tanpa membuang waktu, kami bertiga ikut mengantri di meja makan. Nyaris semua jenis makanan kami ambil dan kami cicipi. Mulai dari makanan pembuka berupa kue-kue basah, hingga dessert berupa salad buah dan es puding.
"Alhamdulillah, program perbaikan gizi bisa terlaksana," kata Ulik menyeringai lega setelah menyantap sendok terakhir es pudingnya. Aku dan Tommy ikut tertawa.
Beberapa tamu yang sudah selesai menikmati hidangan lalu melangkah ke arah panggung, memberi ucapan selamat pada mempelai. Kami bertiga lalu beranjak dari tempat duduk dan melangkah, hendak ikut mengucapkan selamat juga.
"Selamat ya, semoga jadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah," kataku memberi ucapan selamat pada pengantin pria. Kujabat erat tangannya, seolah dia sahabat karibku sendiri.
"Aamiin, terima kasih sudah datang," balas si mempelai.
Melangkah ke luar ruangan, Ulik menyenggol lenganku dan berkata," Gimana, lancar kan? Hitung-hitung kita ikut menyumbang doa dan berkah buat mempelai. Bukankah itu yang diharapkan setiap pasangan pengantin?"
Aku terdiam, mencoba mencerna penjelasan Ulik. Apakah benar yang diharapkan setiap pengantin itu hanya doa dan berkah dari para undangan? Kalau begitu, buat apa disediakan kotak untuk menampung amplop di meja tempat Pagar Bagus dan Pagar Ayu menyambut para tamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H