Terus terang, saya tidak tahu apa ukurannya sebuah seminar bisa disebut Seminar Nasional. Apakah itu karena faktor pembicara yang harus menghadirkan tokoh nasional, atau dari segi pesertanya, minimal ratusan orang.
Begitulah, tiba-tiba saya didapuk untuk menjadi pembicara di Seminar Nasional dalam rangka Marketing Fair yang diselenggarakan Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Malang (Polinema) pada 6 November 2019.
Satu bulan sebelumnya, saya dihubungi Mas Henry, koordinator Gapura Digital wilayah Malang. Saya diminta untuk mengisi kelas partnership pelatihan Digital Marketing di Polinema. Waktu itu saya mengira ini kelas pelatihan biasa yang diselenggarakan pihak luar menggandeng Gapura Digital sebagai pengisi materinya.
Namun, dua minggu sebelum hari H, akun Instagram saya ditandai pada postingan berisi poster dengan tajuk sangat mencolok: Seminar Nasional: Create Your Own Business and Be a Succesfull Young Enterpreneur. Foto saya disandingkan dengan pembicara utama Arumi Bachsin, istri Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak yang sekarang menjadi Ketua Dewan Kerajinan Nasional Provinsi Jawa Timur.
Kaget, saya lalu menghubungi Mas Henry untuk mengonfirmasi.
"Mas, untuk pelatihan di Polinema itu kelas pelatihan biasa ya?"
"Iya Mas, kenapa?" jawab Mas Henry.
"Lha, ini saya kok ditandai di Instagram, ada poster tentang seminar nasional dan saya jadi salah satu pembicaranya. Mas Henry sudah tahu?" tanya sama sambil mengirim screenshot poster di Instagram.
"Belum. Coba saya konfirmasi sama panitianya dulu."
Tak lama kemudian, Mas Henry membenarkan bahwa acara di Polinema nanti memang seminar nasional, bukan kelas pelatihan seperti biasanya. Menurut panitia, pesertanya mahasiswa dengan jumlah sekitar 300 orang!
Sejak diminta menjadi fasilitator Gapura Digital, saya sudah mulai terbiasa berbicara di depan umum. Tapi itu pun di depan puluhan orang dengan format kelas pelatihan. Saya belum pernah membayangkan bisa menjadi pembicara seminar nasional di depan ratusan orang.
Karena materi presentasi sudah disiapkan Gapura Digital, saya tinggal mempersiapkan mental saja. Bicara di kelas pelatihan yang pesertanya paling banyak 60 orang tentu berbeda dengan bicara di hadapan ratusan orang, terlebih lagi mereka adalah mahasiswa.
Satu minggu sebelum acara, saya membaca artikel di Kompasiana yang ditulis Okti Nur Risanti: Kemurahan Hati, Kunci Public Speaking. Dalam artikelnya, mbak Okti merujuk pada artikel yang yang ditulis Sarah Gersman di Harvard Business Review mengatakan kunci untuk bisa tenang dan sukses dalam public speaking adalah kemurahan hati.
Apa yang ditulis Sarah Gersman dan mbak Okti dalam artikelnya memang 100 persen benar. Sebelum membaca artikel tersebut, saya sudah mempraktekkannya di kelas pelatihan.
Glossophobia, Fobia Sosial Karena Takut Berbicara di Depan Umum
Motivasi untuk berbagi ilmu bisa mengalahkan rasa takut berbicara di depan umum. Rasa takut ini, dalam bahasa medis disebut Glossophobia.
Ini salah satu jenis fobia sosial, atau gangguan kecemasan sosial. Tidak berbahaya, tapi bagi mereka yang terpengaruh, berbicara di depan umum dapat memicu perasaan tidak nyaman dan cemas.
Mereka yang tidak terbiasa berbicara di depan umum bisa gemetar, berkeringat, dan jantung berdetak jantung liar tak terkendali. Mereka mungkin juga memiliki keinginan besar untuk keluar dari ruangan atau menjauh dari situasi yang menyebabkan mereka mengalami stres karena harus bicara di depan orang banyak.
Tapi, semua kecemasan itu bisa hilang jika motivasi utama kita saat bicara di hadapan khalayak ramai adalah kemurahan hati. Dan begitulah, selama menjadi fasilitator Gapura Digital, saya pun sukses mengatasi glossophobia dengan motivasi berbagi ilmu dan pengetahuan.
Kemurahan hati saja belum cukup untuk bisa sukses menjadi pembicara di depan banyak orang. Apalagi jika formatnya seminar nasional seperti yang baru pertama kali saya alami.
Jadi, sebagai pelengkap artikel mbak Okti, berikut tips berbicara di depan umum dengan baik, lebih khusus lagi tips menjadi pembicara seminar nasional:
1. Persiapkan Rencana Cadangan/Contingency Plan
"Jika rencana A tidak bekerja, alfabet masih punya 25 huruf lagi"
Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di sepanjang jalur perjalanan hidup kita. Di saat situasi berjalan di luar rencana, kebanyakan kita menjadi panik, karena tidak mengira dan tidak memiliki rencana darurat.
Suatu ketika, saya pernah panik karena saat mengisi materi listrik di kelas pelatihan padam. Padahal acaranya baru berlangsung 30 menit dari yang seharusnya 2 jam. Lima menit menunggu, listrik belum juga menyala.
Seandainya kalian di posisi saya, apa yang harus saya lakukan? Membubarkan kelas jelas tidak mungkin.
Dalam kondisi panik karena tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan, saya berusaha untuk mengingat-ingat beberapa kisah inspiratif. Akhirnya sambil menunggu listrik menyala, saya lalu mendongeng. Bukan sembarang dongeng, melainkan cerita-cerita inspiratif dari kisah hidup tokoh-tokoh dunia yang sesuai dengan latar belakang peserta pelatihan.
Dari pengalaman itu saya menyadari pentingnya rencana darurat atau contingency plan. Akhirnya, dalam kelas-kelas pelatihan berikutnya, saya mempersiapkan daftar rencana darurat seperti ini:
Rencana darurat untuk menyampaikan presentasi
Risiko potensial:Â Listrik padam, proyektor atau komputer tidak berfungsi.
Siapa yang akan terpengaruh: Saya
Tindakan: Tulis garis besar dan poin utama di papan tulis saat saya presentasi
Siapa yang akan mengambil tindakan: Saya
Persiapan: Catatan di notes, 3 spidol berwarna, handout/modul yang dicetak.
Yang harus diingat dalam mempersiapkan rencana darurat adalah sumber daya apa yang kita miliki. Kita harus bisa bersikap realistis dalam merancang rencana kontingensi ini sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada.
2. Datang ke Lokasi Acara Lebih Awal
Selain mempersiapkan rencana darurat, saya juga selalu datang ke lokasi acara lebih awal, paling tidak 30 menit sebelum acara dimulai. Dengan datang lebih awal, saya bisa mengira-kira seperti apa nanti suasana pelatihan atau seminar.
Begitulah, pada saat hari H, saya datang ke Graha Polinema satu jam lebih awal. Mulanya saya kira seminar itu diselenggarakan di ruang kelas biasa. Ternyata tidak.
Di Graha Polinema, sudah berdiri panggung megah. Di depannya, kursi-kursi di susun rapi berderet membentuk setengah lingkaran. Saya perkirakan jumlahnya lebih dari seratus kursi. Itu masih belum termasuk bangku penonton yang ada di lantai dua.
Terus terang, ini adalah kondisi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Gugup, itu sudah pasti. Karena biasanya di kelas pelatihan saya bersikap interaktif. Artinya saya bisa mendekati peserta agar bisa bertanya jawab dengan lancar.
Rencana B yang sudah saya susun pun menjadi ambyar berantakan. Karena masih ada waktu, saya lantas menyusun rencana C.
Di sinilah pentingnya kita datang lebih awal ke lokasi acara. Dengan melihat lebih dulu suasananya, kita bisa menyusun rencana di luar rencana darurat yang sudah kita buat. Selain itu, secara psikologis datang lebih awal juga bisa membuat kita lebih tenang. Seolah kita bisa menyerap hawa keriuhan yang akan terjadi nanti.
3. Buka Pembicaraan dengan Unsur Kejutan
Sama dengan menulis artikel, saat membuka pembicaraan, kita butuh unsur kejutan agar audiens tertarik dan tetap bertahan untuk menyimak apa yang kita sampaikan hingga selesai.
Saat acara seminar nasional di Polinema, saya didapuk sebagai pembicara kedua. Ini tantangannya lebih berat. Konsentrasi peserta sudah mulai berkurang karena terkuras saat menyimak materi pertama. Apalagi mengingat kompetensi saya sendiri yang masih belum punya nama.
"Siapa sih Himam Miladi ini? Mending menyimak materinya Arumi Bachsin," mungkin seperti itu yang ada di benak para mahasiswa.
 Maka, sesuai dengan rencana C, saya membuka materi seminar dengan sebuah kejutan? Apa itu?
Tak ada pembukaan yang lebih baik lagi selain "menunggangi" apa yang sedang viral saat ini. Ketika itu, netizen tengah hangat membicarakan topik "Layangan Putus". Jadi, materi yang saya bawakan saya buka dengan pengantar sebagai berikut:
"Kali ini, kita akan membahas 'Pelajaran Marketing dari Kisah Layangan Putus'. Saya yakin para wanita di sini tidak ingin menjadi layangan putus. Dan saya juga yakin, lebih dari 50 persen para lelaki di sini ingin menjadi benang yang bisa mengatur 2 layangan sekaligus."
Mengaitkan tema materi dengan sesuatu yang sedang viral, ditambah dengan sedikit humor terbukti efektif menggugah peserta yang hampir semuanya sedang suntuk. Hingga satu jam berikutnya, peserta seminar antusias menyimak pemaparan materi dan bertanya tentang hal yang belum mereka pahami.
Tips berikutnya kurang lebih sama dengan apa yang sudah diulas Sarah Gersman:
4. Fokus Pada Audiens
Jangan berpikir audiens sedang menilai penampilan diri kita. Fokus saja pada apa yang ingin kita sampaikan. Motivasikan diri kita untuk berbagi ilmu dan informasi yang dibutuhkan audiens.
5. Jalin Komunikasi Secara Personal
Anggap saja saat itu kita tidak bicara di depan umum, melainkan secara pribadi. Jangan mengarahkan pandangan menyisir ke seluruh ruangan. Tatap mata peserta satu per satu, seolah kita sedang bicara empat mata, dan lakukan hal ini bergantian.
Yang paling penting dari pengalaman dan tips ini adalah, kemurahan hati untuk berbagi pengetahuan, inspirasi atau motivasi bisa memberi kita rasa kepuasan tersendiri. Pada akhirnya, hal ini akan mengubah rasa takut, gugup, tegang dan cemas menjadi kekuatan dalam berbicara. Seorang pembicara yang dermawan sikapnya lebih tenang, lebih santai, dan paling penting adalah lebih efektif dalam menjangkau audiens dan membuat dampak yang diinginkan.
Hal ini saya buktikan sendiri. Usai tampil sebagai pembicara di seminar nasional tersebut, saya diberitahu Mas Leo, salah seorang koordinator Gapura Digital Malang bahwa banyak peserta ikut kelas pelatihan reguler. Dan ajaibnya, mereka meminta secara khusus kelas pelatihan yang saya isi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H