Yang harus diingat dalam mempersiapkan rencana darurat adalah sumber daya apa yang kita miliki. Kita harus bisa bersikap realistis dalam merancang rencana kontingensi ini sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada.
2. Datang ke Lokasi Acara Lebih Awal
Selain mempersiapkan rencana darurat, saya juga selalu datang ke lokasi acara lebih awal, paling tidak 30 menit sebelum acara dimulai. Dengan datang lebih awal, saya bisa mengira-kira seperti apa nanti suasana pelatihan atau seminar.
Begitulah, pada saat hari H, saya datang ke Graha Polinema satu jam lebih awal. Mulanya saya kira seminar itu diselenggarakan di ruang kelas biasa. Ternyata tidak.
Di Graha Polinema, sudah berdiri panggung megah. Di depannya, kursi-kursi di susun rapi berderet membentuk setengah lingkaran. Saya perkirakan jumlahnya lebih dari seratus kursi. Itu masih belum termasuk bangku penonton yang ada di lantai dua.
Terus terang, ini adalah kondisi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Gugup, itu sudah pasti. Karena biasanya di kelas pelatihan saya bersikap interaktif. Artinya saya bisa mendekati peserta agar bisa bertanya jawab dengan lancar.
Rencana B yang sudah saya susun pun menjadi ambyar berantakan. Karena masih ada waktu, saya lantas menyusun rencana C.
Di sinilah pentingnya kita datang lebih awal ke lokasi acara. Dengan melihat lebih dulu suasananya, kita bisa menyusun rencana di luar rencana darurat yang sudah kita buat. Selain itu, secara psikologis datang lebih awal juga bisa membuat kita lebih tenang. Seolah kita bisa menyerap hawa keriuhan yang akan terjadi nanti.
3. Buka Pembicaraan dengan Unsur Kejutan
Sama dengan menulis artikel, saat membuka pembicaraan, kita butuh unsur kejutan agar audiens tertarik dan tetap bertahan untuk menyimak apa yang kita sampaikan hingga selesai.
Saat acara seminar nasional di Polinema, saya didapuk sebagai pembicara kedua. Ini tantangannya lebih berat. Konsentrasi peserta sudah mulai berkurang karena terkuras saat menyimak materi pertama. Apalagi mengingat kompetensi saya sendiri yang masih belum punya nama.
"Siapa sih Himam Miladi ini? Mending menyimak materinya Arumi Bachsin," mungkin seperti itu yang ada di benak para mahasiswa.
 Maka, sesuai dengan rencana C, saya membuka materi seminar dengan sebuah kejutan? Apa itu?