Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jangan Tanya Resep Obat pada Google, Tanyakan Pada Apoteker

13 November 2019   22:03 Diperbarui: 13 November 2019   22:03 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi obat-obatan (sumber gambar: diolah dari canva.com)

Tiga bulan yang lalu, kulit saya di bagian leher belakang gatal-gatal. Awalnya saya mengira ini infeksi jamur kulit biasa karena gejala dan tanda penampakan gatalnya seperti kadas.

Saya pun mengobatinya dengan salep kulit yang generik. Hingga salepnya habis, belum ada tanda-tanda jamur kulit di leher saya hilang, malah semakin terasa gatalnya.

Saya lalu memutuskan untuk mengganti merek salepnya, siapa tahu lebih manjur. Eh ternyata sama saja, tidak menyembuhkan, malah membuat area penyebarannya semakin luas.

Sedikit putus asa, saya lalu bertanya ke teman-teman di grup WA, mungkin mereka pernah punya masalah yang sama. Tak lupa, saya juga mencari informasi pengobatannya di Google. Tentunya dengan beberapa kata kunci yang berkaitan dengan masalah gatal-gatal yang saya alami.

Jawaban dari teman-teman hampir sama: "Periksa saja ke dokter kulit."

Masalahnya, kata "dokter kulit" selalu beriringan dengan "kelamin". Ini mungkin yang membuat sebagian besar masyarakat enggan, malu dan tindakan memeriksakan diri ke dokter kulit (dan kelamin) adalah pilihan terakhir. Tidak terkecuali dengan saya.

Sementara usaha saya mencari informasi di Google juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Sebagian besar informasi yang tertera di hasil pencarian adalah artikel tentang penyebab jamur kulit, macam-macam obat jamur kulit (yang generik) atau herbal, serta beberapa artikel promosi obat jamur kulit tertentu.

Sampai pada akhirnya istri saya memberi saran, "Sudah, kalau gak mau periksa ke dokter, tanyakan saja obatnya ke apoteker. Mungkin mereka tahu."

Saya pun menuruti saran istri, pergi ke apotek yang saya tahu persediaan obatnya lengkap. Di sana, saya lalu bertanya pada apoteker yang bertugas, "Mbak, ada obat jamur kulit yang tandanya mirip kadas? Saya sudah mencoba salep kulit biasa, tapi gak manjur."

"Tanda-tandanya seperti apa, Pak?"

Saya lalu menjelaskan tanda-tanda gatal yang saya alami.

"Ada fotonya gak pak? Biar lebih jelas seperti apa jamur kulitnya," pinta Mbak apotekernya.

Waduh, mana terpikir saya untuk memotret kulit leher bagian belakang? Saya menggelengkan kepala dan menjawab tidak ada.

"Coba diobati pakai Desoximetasone ya, mungkin cocok." Kemudian Mbak Apoteker tersebut masuk ke dalam untuk mengambil salep kulit yang dimaksud.

Ternyata, salep yang disarankan apoteker tersebut sangat manjur! Tidak sampai 2 minggu gatal-gatal di leher saya sembuh dan sebarannya juga hilang.

***

Dalam kaidah pemasaran digital, perjalanan untuk mendapatkan sesuatu secara online (dari informasi/berita hingga produk barang/jasa) digambarkan dalam sebuah formula: Think, Search, Find, Click, Engage, Buy.

Think adalah saat-saat ketika kita mengalami micro moment atau momentum ketika kita mengalami masalah atau membutuhkan sesuatu. Untuk memecahkan masalah atau mencari solusinya, kebanyakan kita lalu mencarinya di Google atau media sosial (Search). 

Kemudian setelah menemukan (Find) informasi yang dicari, kita meng-Click tautan informasi tersebut, lalu terlibat (Engange) dan diakhiri dengan membeli (Buy) atau mengambil tindakan tertentu sesuai dengan apa yang didapatkan di internet.

Masyarakat Indonesia Lebih Suka Tanya Obat ke Google

Di era digital ini, apa yang saya lakukan seperti seperti di atas kemungkinan besar juga dilakukan kebanyakan masyarakat Indonesia: Tanya segalanya ke Google, termasuk untuk mendapatkan resep obat.

Saat sakit, kita cenderung lebih suka mencari informasi mengenai obat di internet daripada bertanya langsung ke ahlinya, tenaga kesehatan termasuk ke apoteker. Dalam konferensi Kolaborasi Merck dan IAI di Jakarta (15/10), Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Nurul Falah Eddy Pariang mengungkapkan fenomena tersebut.

"Salah satu survei mengatakan, masyarakat begitu mendapat obat bertanya kepada Google, baru ke apoteker. Nah, jadi diharapkan apoteker bisa menjelaskan obat kepada masyarakat melalui teknologi."

Nurul juga menjelaskan, Apoteker memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan pasien melalui pelayanan kefarmasian, "Salah satunya adalah memberikan konseling kepada pasien dan masyarakat terkait penggunaan obat yang benar."

Di luar perilaku konsumen digital, salah satu penyebab masyarakat lebih percaya dan lebih sering bertanya ke Google adalah karena faktor kualitas dan kompetensi apoteker tersebut. Jarang sekali ada apoteker yang menguasai seluk beluk obat-obatan. Sering juga ketika apoteker ditanya konsumen perihal gejala penyakit tertentu dan obat yang tepat, mereka malah menyarankan untuk memeriksakan diri ke dokter.

Ketua IAI, Nurul Falah tidak menampik hal tersebut. Ia memaparkan bahwa pada dasarnya, tenaga kesehatan di Indonesia memiliki 4 isu utama, yaitu jumlah tenaga kesehatan yang masih kurang, distribusi tenaga kesehatan tidak merata, kualifikasi pendidikan dibawah mencukupi dan mutu atau kualitas yang belum memadai.

Kurangnya kapasitas dan kualitas apoteker inilah yang kemudian membentuk persepsi dan kebiasaan masyarakat Indonesia bahwa untuk mencari informasi kesehatan atau obat-obatan, tanyalah pada Google.

Jangan Gantungkan Kesehatan Kita Pada Google

Kita memang tak bisa menafikan kehebatan Google sebagai mesin pencari. Informasi apapun, mulai dari politik, gosip, dalil agama hingga resep obat bisa kita dapatkan dengan mudah.

Tapi, Google bukan apoteker apalagi dokter. Algoritma mesin pencari Google tidak memiliki hati nurani yang bisa diajak bicara dari hati ke hati.

Kecerdasan buatan Google tidak bisa membedakan mana tulisan dari para ahli, dan mana opini dari masyarakat awam. Google tidak bisa membedakan mana pengetahuan yang bermanfaat, mana ilmu yang sesat. 

Maka, tak heran apabila kemudian hoaks atau informasi palsu tentang kesehatan adalah jenis informasi palsu yang paling banyak beredar di internet dan dikonsumsi masyarakat awam.

Mengingat pentingnya kesehatan dan bahayanya hoaks kesehatan itu sendiri, sangat riskan dan terlalu berisiko jika kemudian kita terlalu banyak menyandarkan pencarian informasi obat-obatan pada Google. Apakah kita mau menggantungkan kesehatan dan harapan hidup kita pada sebuah mesin pencari?

Jadi, jangan pernah mempercayakan informasi penting seperti resep obat pada Google. Selalu tanyakan obat-obatan yang tepat pada ahlinya, tenaga kesehatan yang profesional dan berkualitas agar kita pintar konsumsi obat.

Untuk mengubah budaya seperti ini, tentunya harus diiringi dengan peningkatan kualitas dari tenaga kesehatan itu sendiri, termasuk apoteker. Hal ini sangat penting karena apoteker memiliki peran di lini terdepan dalam memberikan informasi kesehatan yang benar dan tepat kepada masyarakat luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun