Tak lama kemudian, banyak netizen non-SJW yang membalas bahwa perilaku "kampungan" itu adalah hal yang wajar.
Netizen yang kontra dengan SJW memberikan sanggahan dengan mengunggah suasana di Jepang, Inggris dan Amerika Serikat saat warganya pertama kali mencoba MRT. Pada akhirnya, para SJW pun menghilang dari linimasa media sosial.
Jika merunut pada singkatannya, SJW seharusnya menjadi pejuang. Dia memperjuangkan apa yang menurut keyakinannya merupakan suatu hal yang tidak adil. Kenyataannya, banyak SJW yang ketika tidak bisa berargumentasi mempertahankan pendapatnya malah terlihat seperti pecundang.
Hal ini karena sebagian besar SJW hanyalah pakar imajinasi. Ketika mereka belum pernah mengalami sendiri hal yang terjadi, maka semua imajinasi mereka adalah hal yang mereka yakini.
Contohnya seperti si pelapor di atas. Dia belum pernah mengalami hidup di kampung.
Maka, imajinasinya berkembang menjadi sebuah keyakinan bahwa semua jalan umum harus steril dari kepentingan pribadi. Keyakinannya tumbuh menjadi ilusi bahwa apa yang dilaporkannya adalah hal yang benar.
SJW, dari Pejuang Menjadi Pecundang
Ulah netizen non SJW yang sering mencerca para SJW sebagian besar didasarkan pada ketidakkonsistenan SJW, jika tidak mau disebut lebih kasar: hipokrit atau munafik. Para SJW dianggap hanya bisa melempar kritik dan menyalahkan, tanpa mau melihat realita yang ada.
Dari istilah yang semestinya positif (jika melihat arti harfiah dari kata yang membentuknya), SJW sekarang menjadi suatu istilah yang mengandung konotasi negatif. Pejuang menjadi Pecundang.
SJW telah menjadi istilah yang merendahkan bagi seseorang yang mempromosikan pandangan progresif sosial, khususnya, yang terkait dengan liberalisme sosial, inklusivitas budaya atau feminisme.
Tuduhan bahwa seseorang adalah seorang SJW membawa implikasi bahwa mereka hanya mengejar validasi pribadi dan pembenaran diri daripada keyakinan mendalam akan suatu kebaikan.
Kritik terhadap SJW memang perlu dilakukan, bukan atas dasar pandangan mereka. Melainkan atas ketidakkonsistenan mereka dalam menerapkan standar sebuah kebaikan.