Di laman Facebook Radio Suara Surabaya, seorang warga melaporkan (baca: mengeluh) perihal ditutupnya jalan di sebuah kampung karena ada warganya yang sedang menggelar acara pernikahan. Â Menurut si pelapor, jalan umum tidak seharusnya digunakan untuk kepentingan pribadi yang harus mengorbankan pengguna jalan lainnya.
Dari sekian ratus komentar yang menanggapi postingan tersebut, saya membaca hampir semuanya malah menyudutkan si pelapor.
"Lha mbok pikir iku dalane Mbahmu ta?" (Apa kamu pikir itu jalannya kakekmu?)
"Iki pasti wong sugih sing gak tau urip nang kampung." (Ini pasti orang kaya yang tak pernah hidup di kampung)
"Ngoco Mas, yo ngene iki sing jenenge teposeliro. Wong kampung gak iso nyewo gedung, dadine mantenane nang pinggir dalan. Gak koyok awakmu!" (Ngaca Mas, ya begini ini yang namanya toleransi. Orang kampung tidak bisa menyewa gedung, akhirnya acara pernikahan digelar di pinggir jalan. Tidak seperti dirimu!)
Berbagai komentar sejenis itu menandakan bahwa alih-alih mendukung apa yang disampaikan pelapor, netizen malah menyalahkan si pelapor. Bahkan banyak netizen yang cenderung meng-insult pelapor.
Si pelapor, dalam kaidah fenomena terkini termasuk dalam kategori Social Justice Warrior (Pejuang Keadilan Sosial, selanjutnya disingkat SJW). Â Apa yang dilaporkannya adalah sesuatu yang menurut pandangan pribadinya tidak adil.
Mengapa banyak yang mencerca SJW?
Masalahnya, mengapa dia malah mendapat cercaan yang menjurus pada penghinaan pribadi dari netizen non SJW?
Fenomena insulting terhadap SJW bukan hal yang baru lagi. Beberapa waktu lalu, netizen sempat adu argumen perihal tingkah beberapa warga saat baru pertama kali naik MRT di Jakarta.
Para SJW mengatakan kelakuan "udik" yang diperlihatkan warga yang baru pertama kali naik MRT itu adalah hal yang memalukan dan tidak seharusnya dipertontonkan.