Meskipun sudah dikuasai tentara Inggris, para pejuang tidak menyerah dan terus melakukan perlawanan untuk merebut kembali kota Surabaya. Dipimpin oleh Achmad dan Abid Saleh, Lasjkar Hisboellah terus menyerang tentara Inggris di kawasan perbatasan kota Surabaya. Markas Lasjkar Hisboellah sendiri telah dipindahkan ke selatan di pabrik kulit Wonocolo.
Setelah pertempuran terus menerus selama hampir 1 bulan, kota Surabaya akhirnya ditinggalkan oleh para pejuang pada tanggal 1 Desember 1945. Namun bukan berarti pasukan Inggris bisa bersantai dan mengontrol penuh seluruh wilayah Surabaya.
Serangan demi serangan masih dilakukan oleh pejuang secara sporadis. Seperti yang dilakukan oleh pasukan Lasjkar Hisboellah sektor Surabaya Selatan yang dipimpin oleh Mas Achmad. Hampir setiap malam mereka masuk kota dan mengganggu kedudukan musuh.
Begitu pula dengan Lasjkar Hisboellah sektor Surabaya Barat, yang kerap menyusup ke Surabaya bersama pasukan tentara pimpinan Saleh Hasan dan kompi Matosin. Gabungan pasukan ini masuk melalui daerah Lidah kemudian turun ke kuburan Kembang Kuning dan mengacaukan daerah Kun Bolevard.
Setelah Surabaya jatuh, para pejuang Indonesia beberapa kali melakukan serangan gabungan untuk merebut kembali kota Surabaya dari pendudukan tentara Inggris musuh. Serangan gabungan ini dinamakan Serbuan Oemoem Surabaja (SOS) dan terjadi dua kali, yakni pada pertengahan tahun 1947 dan awal tahun 1948.
Meskipun begitu, pasukan Inggris berhasil mempertahankan Surabaya. Mereka bahkan berhasil merangsek maju terus ke arah selatan. Berturut-turut setelah Surabaya, kota-kota lain di sekitarnya seperti Sidoarjo, Pasuruan hingga Malang juga ikut jatuh dan diduduki tentara Inggris yang saat itu membonceng tentara NICA.
***
Sejarah Singkat Terbentuknya Lasjkar Hisboellah
Lasjkar Hisboellah dibentuk pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Di tahun pertama pendudukannya, Jepang meminta kepada KH. Wahid Hasyim agar mengerahkan para santri untuk membantu Jepang dengan bergabung menjadi Heiho.
KH. Wahid Hasyim menyetujuinya, namun dengan syarat para santri yang nantinya diberi latihan militer, hanya dipergunakan sebagai laskar untuk pertahanan dalam negeri saja. Sebab, kata KH. Wahid Hasyim, mempertahankan sejengkal tanah air di dalam negeri akan lebih menggugah semangat para santri daripada bertempur di daerah yang letaknya jauh dari tanah air.