Begitu pula dalam menghormati dan meneladani Rasulullah SAW, kita sering bersikap tidak beradab terhadap beliau. Nabi Muhammad, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 144, "....tidak lain hanyalah seorang Rasul". Beliau memang manusia seperti kita juga dalam aspek fungsi fisik dan nalurinya.
Tetapi, sifat kemanusiaan Rasulullah SAW mencapai kesempurnaan karena beliau dipilih Allah untuk menerima wahyu dan menjadi "Rasul akhir jaman."
Allah sendiri  menunjuk atau memanggil manusia paling mulia ini dengan gelar terhormat seperti "Wahai Nabi" atau "Wahai Rasul". Hanya satu ayat saja yang menyebut namanya tanpa diiringi gelar kehormatan.Â
"Jangan jadikan panggilanmu terhadap Rasul sama dengan panggilan sebagian kamu terhadap sebagian yang lain" (QS. 24:63).
Di satu sisi, kekaguman yang berlebihan tidak jarang mengantarkan kita kepada sikap tidak adil atau tidak beradab. Bahkan condong pada pengkultusan individu. Sikap mengkultuskan pribadi seseorang ini malah bisa mendekatkan orang tersebut pada kekufuran.
Rasulullah sendiri tidak menyukai pengkultusan terhadap dirinya. Nabi Muhammad SAW mencela setiap sikap berlebih-lebihan dalam memuliakan dirinya.
"Janganlah kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang asing, saling mendewakan sesamanya" ujar beliau ketika para sahabat bangkit berdiri untuk menyambut kedatangannya.
Dalam hadis lain dari Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda,
"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ''Abdullah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)" (HR. Bukhari no. 3445).
Sebagai umatnya, kita tentu hormat dan kagum kepada Rasulullah SAW. Bukan saja ketika memandang beliau dari kacamata seorang insan, tetapi juga ketika memandang beliau dari sudut pandang ajaran agamanya. Dari sini, penghormatan dan rasa kekaguman kita hendaklah didasarkan pada apa yang sudah diajarkan Allah dan Rasulullah dalam Al Quran dan hadis.
Mari kita teladani dan hormati Rasulullah SAW dengan sikap yang beradab. Dalam arti tidak melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah.