Pada Januari 1946, para tokoh bangsa yang dipelopori dua proklamator Soekarno-Hatta sepakat untuk memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta. Saat itu, Republik Indonesia yang baru berusia kurang dari satu tahun tengah terancam dengan datangnya tentara sekutu yang membonceng tentara Belanda.
Selain memindahkan ibukota negara, salah satu peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1946 adalah lahirnya Oeang Republik Indonesia, uang pertama milik bangsa Indonesia.Â
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memang belum memiliki mata uang sendiri. Dari jaman penjajahan Belanda hingga masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia menggunakan mata uang bangsa penjajahnya.
Uang yang Beredar Pasca Proklamasi Kemerdekaan
Pada masa pendudukan Jepang, ada tiga jenis uang Jepang yang yang beredar. Â Â Pertama, uang yang telah disiapkan Jepang sebelum mereka menguasai Indonesia. Uang dengan satuan gulden (f) dan berbahasa Hindia Belanda ini disebut De Japansche Regering.Â
Uang Jepang kedua yang beredar adalah uang emisi 1943, yaitu saat tentara Jepang menduduki Indonesia. Uang ini berbahasa Indonesia dengan pecahan bernilai 100 rupiah. Sedangkan yang ketiga adalah uang yang bernama Dai Nippon Teikoku Seibu dengan pecahan 10 rupiah dan 5 rupiah.
Pasca proklamasi, ketiga uang Jepang ini masih beredar dan oleh pemerintah Indonesia dikukuhkan sebagai alat pembayaran resmi di wilayah Republik.Â
Namun, Belanda datang lagi bersama NICA (Netherlands Indishce Civil Administration) pada akhir September 1945. Kedatangan mereka kali ini bahkan langsung melanggar perjanjian dilarangnya mengeluarkan uang baru.
Belanda malah mengeluarkan uang NICA pada 6 Maret 1946. Karena merasa masih menjajah Indonesia, Belanda memaksakan uang NICA beredar dan menjadi alat pembayaran di kota-kota.Â
Tetapi, para pedagang dan petani dari desa hanya mau menerima uang Jepang sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Tentu saja perbedaan mata uang ini menyulitkan rakyat Indonesia. Para pekerja di kota dibayar dengan uang NICA, sementara para pedagang dan petani tidak mau menerimanya.Â