Saya selalu minder kalau teman-teman blogger bicara masalah follower. Rasanya seperti itik buruk rupa yang sedang berkumpul di tengah gerombolan angsa.
Rata-rata, teman blogger saya (yang kata mereka merangkap influencer) punya ribuan follower, terutama di platform Instagram. Sementara saya sendiri hanya diikuti ratusan akun, belum sampai setengah dari yang dimiliki teman-teman.
Itu pun baru-baru ini saja follower saya bertambah jumlahnya. Salah satunya karena "ditolong" oleh sebuah postingan.
Karena postingan ini pula saya akhirnya tahu dan bisa membuktikan bahwa tidak selamanya jumlah follower berpengaruh pada jangkauan postingan (reachment). Tingkat jangkauan ditentukan oleh algoritma media sosial dan konten itu sendiri.
Setelah menulis artikel tentang Crosshijaber di Kompasiana, saya lalu mengubahnya menjadi infografis kemudian mengunggahnya di Instagram. Saat mengunggah, fenomena crosshijaber memang masih hangat diperbincangkan dan diulas beberapa media nasional.
Pemilihan waktu yang tepat inilah yang kemudian membuat postingan saya di Instagram menjadi viral dan memiliki keterjangkauan yang sangat luas. Lebih banyak menjangkau pengguna Instagram, jauh melebihi jumlah follower saya sendiri.
Dilihat dari insights-nya, postingan crosshijaber itu sampai saat ini sudah disukai 4250 pengguna dan memiliki 108.000 jangkauan. Tak hanya itu, postingan ini juga dibagikan (dalam bentuk direct message) sebanyak 3.123 kali dan di-bookmark oleh 1.482 pengguna. Statistik yang sangat fantastis untuk ukuran pengguna Instagram dengan jumlah follower cuma 300-an saja.
Selain pemilihan waktu, pemakaian tagar juga mempengaruhi postingan ini. Di postingan tersebut, saya menambahkan tagar #crosshijaber dan #crossdresser. Tagar #crosshijaber ini sempat menjadi trending topic di Indonesia ketika berita tentang fenomenanya dibahas media. Sementara di dalam tagar #crossdresser terdapat lebih dari 1 juta postingan.
Kombinasi antara waktu, konten yang jadi trending topic serta algoritma platform media sosial inilah yang membuat sebuah postingan bisa menjadi viral dan mendapat jangkauan yang sangat banyak. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, sejak 2018 algoritma Instagram mengalami perubahan fundamental.
Dua yang utama dan saling berkaitan adalah Post Exposure dan Engangement. Algoritma post exposure membuat postingan di Instagram hanya akan dijangkau oleh 10% follower, dan akan menjangkau lebih luas lagi apabila memiliki tingkat keterlibatan (engangement) yang signifikan.
Sementara Engangement lebih banyak ditentukan oleh seberapa aktif pengguna itu terlibat dalam postingan. Baik itu menjawab komentar di postingannya sendiri atau berkomentar di postingan pengguna lain.
Setiap media sosial memiliki algoritma tersendiri yang berbeda-beda. Algoritma YouTube misalnya, dibagi menjadi dua: algoritma hasil pencarian dan algoritma rekomendasi.
Algoritma hasil pencarian di YouTube meniru algoritma mesin pencari Google, yakni didasarkan pada kata kunci. Sedangkan algoritma rekomendasinya lebih banyak ditentukan oleh perilaku pengguna. Sebagai contoh, jika seorang pengguna sering mencari video tentang gim, maka video-video di deret rekomendasinya akan berisi video dengan tema berdasarkan riwayat pencariannya tersebut.
Berbeda lagi dengan Twitter. Si burung biru ini mendasarkan algoritmanya pada seberapa banyak dan cepat sebuah kata kunci diletakkan penggunanya.
Sebuah kata kunci bisa menjadi trending topic di Twitter tidak hanya dilihat dari jumlahnya, tapi juga rentang waktunya. Semakin pendek rentang waktu dan semakin banyak pengguna yang memakai kata kunci tersebut, kemungkinan kata kunci itu menjadi trending topic juga semakin besar.
Seperti kata kunci Nyi Roro Kidul yang pagi hari tadi menjadi trending topic, atau tagar #PestaRakyatNKRI yang hingga malam ini masih memuncaki daftar trending topic. Ini karena dalam rentang waktu yang singkat banyak pengguna Twitter yang menggunakan kata kunci dan tagar tersebut dalam postingan mereka.
Kalaupun ada banyak pengguna memakai kata kunci atau tagar tertentu, tapi mereka mempostingnya dalam jarak waktu yang berjauhan, ini tidak akan membuat kata kunci atau tagar tesebut menjadi trending topic. Sekalipun pengguna-pengguna itu memiliki jumlah follower yang banyak.
Itulah sebabnya, banyak pengguna di Twitter yang "numpang" mempromosikan konten mereka lewat apa yang sedang menjadi trending topic. Supaya postingan mereka mendapatkan jangkauan yang lebih banyak. Begitu pula dengan pengguna di platform media sosial lainnya, sering menambahkan tagar yang sedang populer.
Selama ini, banyak brand atau perusahaan yang masih terjebak dalam paradigma "metrik angka". Seolah jumlah follower yang banyak dapat menjamin sebuah postingan memiliki tingkat keterjangkauan yang luas. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H