Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Apakah Indonesia Sudah Darurat Kesehatan Mental?

9 Oktober 2019   10:37 Diperbarui: 9 Oktober 2019   11:01 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gangguan kesehatan mental (sumber: unsplash.com/@dearferdo)

Film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix mengangkat masalah yang penting bagi milyaran orang di seluruh dunia: Gangguan Kesehatan Mental. Tidak hanya deteksi dininya yang sering diabaikan, pelayanan kesehatan mental juga sering tidak memadai, terlebih di negara berkembang seperti Indonesia.

Stigma dan diskriminasi masyarakat pada penyandang disabilitas mental

Gangguan kesehatan mental memang sering tersembunyi dari pandangan orang awam. Pada umumnya, penderita gangguan kesehatan mental sering diasosiasikan dengan tunawisma yang berpakaian serampangan hingga hampir telanjang di jalan-jalan.

Masyarakat juga kerap memunculkan stigma negatif dan prasangka bahwa penderita gangguan kesehatan mental berperilaku membahayakan hingga dianggap kerasukan setan.  

Akibat dari stereotip dan prasangka tersebut, penderita gangguan mental sering menerima perlakuan diskriminasi. Pemasungan, pengurungan dan pengucilan adalah model diskriminasi yang sering diterima penderita gangguan kesehatan mental.

Seorang tetangga saya di daerah Tenggilis, Surabaya mengalami diskriminasi semacam ini. Tetangga saya ini, ditempatkan di rumah yang sengaja dikosongkan untuk mengurung dan mengucilkannya. 

Sampai pagar rumahnya ditinggikan dan dipasangi kawat berduri supaya tetangga saya ini tidak bisa melarikan diri. Untuk menyediakan makanan sehari-hari, keluarganya meletakkan piring makanan di luar pintu rumah. Sehari-hari, yang terdengar dari rumah itu adalah ocehan tak jelas dari penghuninya.

Apakah tidak ada upaya untuk membawanya ke rumah sakit jiwa? Saya sendiri kurang tahu. Tapi sudah bertahun-tahun tetangga saya ini menempati rumah kosong itu sendirian.

Stigma dan diskriminasi semacam ini membuat penyandang disabilitas mental dibatasi ruang hidupnya dan dikucilkan secara sosial. Perlakuan ini juga menghalangi penderita gangguan kesehatan mental dan keluarga mereka mencari pertolongan sejak dini dan karena itu juga mencegah mereka menerima perawatan dan perawatan yang tepat. 

Laporan dari Human Right Watch sampai menggambarkan kehidupan penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia itu seperti di neraka. Menurut laporan tersebut,  setidaknya 57 ribu penyandang disabilitas mental berat dipasung di seluruh Indonesia. 

Sementara laporan dari Kementerian Sosial pada 2017 menyebutkan 28,1% orang dengan penyakit mental masih dipasung atau terbelenggu di dalam atau sekitar rumah mereka.

Minimnya fasilitas dan layanan kesehatan mental di Indonesia

Salah satu penyebab masih tingginya angka penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia adalah minimnya fasilitas perawatan. Dari segi kuantitas, fasilitas kesehatan mental di Indonesia sangat timpang. 

Dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 773 psikiater atau tingkat rasio 1:323 ribu jiwa. Padahal rasio terbaik menurut WHO adalah 1:30 ribu jiwa.

Selain kekurangan jumlah, Indonesia juga kurang memperhatikan pentingnya penempatan tenaga medis kesehatan mental. Jarang sekali ada upaya untuk menyediakan psikolog di Puskesmas di seluruh Indonesia. Padahal Puskesmas adalah fasilitas kesehatan primer yang paling dasar dan menjadi rujukan pertama masyarakat di level bawah.

Menempatkan tenaga medis mental seperti psikiater atau psikolog di Puskesma belum dianggap penting. Berbeda dengan tenaga medis fisik seperti dokter, bidan, ahli gizi hingga sanitarian yang selalu ada di setiap Puskesmas.

Tercatat, hanya Kota Yogyakarta yang telah berhasil menempatkan seorang psikolog di seluruh 18 puskesmas sejak 2010. Sedangkan kota-kota atau daerah lainnya belum memiliki kebijakan serupa.

Pemerintah Jakarta sendiri sejak 2014 sudah bekerja sama dengan Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia dan menyatakan akan menyiapkan layanan psikologi untuk 44 Puskesmas. Namun hingga Januari 2018 proses tersebut masih dalam tahap "keinginan".

Sementara di Kota Malang, baru Puskesmas Bareng saja yang sudah menempatkan mahasiswa magister profesi klinis dari Universitas Muhammadiyah Malang. Itu pun terbatas hanya dalam bentuk memberikan layanan konsultasi psikologi, bukan pengobatan medis.

Sampai saat ini saya belum tahu bagaimana dengan Puskesmas di daerah lainnya. Namun dengan melihat dan membandingkan kondisi di Jakarta dan Malang, bisa saya asumsikan Puskesmas di daerah-daerah lainnya belum menyediakan pelayanan kesehatan mental sebagaimana yang sudah diterapkan Kota Yogyakarta.

Pentingnya deteksi dini pada penderita gangguan kesehatan mental

Keterbatasan akses terhadap tenaga medis mental ini membuat banyak penderita belum tertangani secara profesional, bahkan untuk sekedar tahap pemeriksaan awal. Padahal, justru deteksi dini inilah yang sangat penting.

Gangguan kesehatan mental bisa diderita siapa saja. Mulai dari remaja sampai usia paruh baya. Gangguan mental lazim di kalangan anak muda milenial, karena ini adalah waktu kaum muda  menghadapi banyak transisi yang berbeda dalam hidup mereka. 

Tak salah apabila pada peringatan Hari Kesehatan Dunia 2018, WHO mengangkat tema "Kaum Muda dan Kesehatan Mental di Dunia yang terus berubah."

Disabilitas mental juga rawan terjadi pada korban bencana alam maupun kerusuhan. Mereka membutuhkan dukungan psikologis untuk melewati masa-masa sulit kehilangan orang yang mereka cintai, barang-barang mereka dan rasa takut akan bencana di masa depan.

Jenis gangguan kesehatan mental lain yang sering kita abaikan adalah depresi peripartum, atau yang lebih kita kenal dengan istilah "baby blues". Jenis depresi ini tidak hanya bisa mendorong tindakan bunuh diri atau tindakan menganiaya balita, tapi juga mengurangi kemampuan ibu untuk merawat anak-anak mereka. 

Mengingat bahwa negara ini berfokus pada upaya menurunkan angka stunting (anak pendek), mendeteksi depresi peripartum dan membantu ibu mencari pengobatan dapat membantu mereka membesarkan anak-anak yang sehat dan cerdas.

Bisa kita lihat, betapa pentingnya deteksi dini terhadap penyandang disabilitas mental. Hal ini hanya bisa terpenuhi apabila masyarakat memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai.

Belajar menyediakan akses layanan kesehatan mental dari Pemerintah Provinsi Yogyakarta

Selama ini, masyarakat cenderung menganggap pengobatan kesehatan mental itu sulit dan mahal. Masyarakat hanya bisa mengakses layanan psikologi di rumah sakit besar atau biro psikologi mandiri. Tentu saja dengan biaya yang harus dibayar sendiri.

Untuk sekali konsultasi, masyarakat harus membayar biaya rata-rata sekitar Rp 150.000-250.000.  Itu masih belum termasuk perlakuan lain seperti tes dan intervensi. Paling tidak, dalam satu kali kunjungan ke psikolog profesional, pasien harus menyiapkan dana Rp 500.000. Bagi masyarakat kelas bawah, ini adalah jumlah yang sangat besar dan mahal.

Karena itu, tak ada salahnya apabila pemerintah pusat maupun daerah belajar dari pemerintah Provinsi Yogyakarta. Ada kerjasama antara pemerintah, kalangan akademisi dan tenaga profesional untuk mewujudkan layanan kesehatan mental yang terjangkau oleh masyarakat umum.

Di Yogyakarta, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul bekerja sama dengan Center Public Mental Health - Universitas Gadjah Mada (CPMH-UGM) Ikatan Psikolog Klinis DIY.  

Dengan jalinan kerjasama lintas lini, pemerintah setempat bisa memberikan pelayanan kesehatan mental di tingkat fasilitas primer seperti Puskesmas dengan biaya yang sangat terjangkau.

Untuk satu kali konsultasi, pasien layanan psikologi di Puskesmas di Yogyakarta hanya dibebani biaya Rp. 7.000. Bahkan untuk masyarakat pemegang KTP Kota Yogyakarta tidak perlu membayar alias gratis karena ongkosnya ditanggung oleh jaminan kesehatan daerah. Layanan ini membuka semua kelas ekonomi bisa berkonsultasi karena gangguan jiwa bisa terjadi pada semua kelas ekonomi dan kelas sosial.

Sudah waktunya pemerintah Sadar Kesehatan Mental dan perlu memikirkan kembali pentingnya layanan kesehatan mental bagi rakyat. Pemerintah seharusnya memperluas program serupa yang sudah dilakukan di Yogyakarta agar menjangkau seluruh Puskesmas di Indonesia karena kesehatan jiwa adalah hak setiap warga negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun