Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sebelum Menghujat KPAI, Pikirkan Nasib Anak-anak Kita

10 September 2019   21:03 Diperbarui: 10 September 2019   21:10 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi rokok, anak-anak dan olahraga (sumber: halodoc.com)

"Mas, ini lho Dava sudah berani merokok. Sembunyi-sembunyi bareng temannya," kata seorang tetangga pada saya ketika berkunjung ke Surabaya beberapa waktu lalu. Dava yang dia maksud adalah keponakan saya yang tinggal di Surabaya. Usianya baru 8 tahun.

"Bener ta Va? Kamu wis berani rokokan? Siapa yang ngajari heh?" tanya saya dengan nada geram.

Dava hanya terdiam dan menunduk ketakutan.

"Itu Mas, si Fulan anaknya pak B yang tinggal di gang buntu. Dia sing sering ngajak-ngajak Dava merokok," kata tetangga saya itu menimpali.

"Va, awas lho ya nek masih diteruskan. Tak samblek nanti," kata saya memperingatkan. Dava lalu menggelengkan kepalanya yang masih tertunduk.

Sehari-hari, keponakan saya ini memang minim pengawasan. Kedua orang tuanya, atau kakak saya sibuk bekerja. Praktis, di rumah Dava ditinggal sendirian, cuma ada Ibu saya yang mengawasi.Tanpa pengawasan orang tua, atau orang lain yang bisa ia segani dan takuti, Dava nyaris tumbuh secara bebas. Pengaruh-pengaruh negatif dari luar pun dengan mudah diserap dan ditirunya, termasuk merokok.

Indonesia, Surga bagi Perokok Anak-anak

Kasus yang menimpa keponakan saya ini hanya gambaran kecil dari kian mengkhawatirkannya paparan asap rokok pada anak-anak. Menurut data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN, lebih dari 30% anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun yang mencapai angka sekitar 20 juta anak.

Jumlah fantastis itu merunut pada data jumlah anak Indonesia usia 0-14 tahun berdasarkan sensus 2010, yang melebihi 67 juta orang. Laporan Atlas juga mengungkapkan bahwa Indonesia mendapat sorotan khusus sebagai negara dengan angka perokok termuda paling tinggi.

Sementara Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak di bawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara usia 10 hingga 14 tahun mencapai 1,2 juta orang. Jumlah ini diprediksi meningkat setiap tahunnya.

infografis pengaruh rokok pada anak-anak di Indonesia (sumber: tirto.id)
infografis pengaruh rokok pada anak-anak di Indonesia (sumber: tirto.id)

Tingginya jumlah perokok anak-anak membuat Indonesia dijuluki "Surga bagi Perokok Anak". Julukan ini tak lepas dari regulasi iklan dan promosi rokok di Indonesia yang dinilai paling ramah di antara negara-negara ASEAN. 

Data Atlas juga mencatat bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara yang tidak melarang iklan rokok di media elektronik, khususnya televisi sebagai media yang paling sering dilihat anak-anak.

Kasus yang menimpa keponakan saya serta data-data diatas saya tunjukkan bukan semata sebagai pembelaan pada KPAI atas polemik dihentikannya ajang audisi bulutangkis PB Djarum. Di luar sumbangsih PB Djarum dan Djarum Foundation, saya hanya ingin menunjukkan bahwa dalam polemik tersebut, KPAI tak layak untuk dipersalahkan apalagi sampai dihujat.

KPAI hanya melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk melindungi anak-anak Indonesia dari paparan industri rokok. Sekalipun dalam kegiatan audisi bulutangkis tersebut PB Djarum maupun Djarum Foundation tidak membawa dan bahkan tidak memasarkan produk rokok.

Tapi, PB Djarum tidak bisa mengelak bahwa mereka adalah bagian, satu kesatuan dengan industri rokok yang menjadi penyandang dananya. Adakah yang bisa memungkiri hal ini? Adakah yang bisa menunjukkan bahwa PB Djarum dan industri rokok Djarum adalah dua entitas yang berbeda, baik dari segi dana maupun identitas mereknya?

Olahraga kita memang masih butuh sokongan dana dari pihak luar, sebagaimana yang dikatakan Menpora Imam Nahrawi. Namun bukan berarti ini menjadi satu-satunya alasan dan pembenaran untuk mengijinkan industri rokok masuk ke ranah olahraga. Suatu hal yang jelas-jelas bersifat kontradiktif dengan efek yang dihasilkan dari produk rokok itu sendiri.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri sudah mewanti-wanti semua negara anggotanya untuk tidak mengijinkan industri rokok menjadi sponsor kegiatan olahraga. Melalui Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian Rokok (WHO Framework Convention on Tobacco Control/WHO FCTC), WHO mewajibkan semua pihak yang terikat Konvensi untuk menerapkan larangan (atau pembatasan) yang komprehensif terhadap iklan, promosi, dan pemberian sponsor rokok. Definisi "iklan dan promosi rokok" dan "sponsor rokok" adalah luas dan mencakup semua bentuk kegiatan dengan efek atau kemungkinan efek dari mempromosikan produk rokok atau penggunaan rokok baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Audisi bulutangkis yang diselenggarakan PB Djarum dan Djarum Foundation masuk dalam kategori mempromosikan produk rokok secara tidak langsung. 

Jujur saja, dengan mengikuti audisi tersebut, anak-anak yang lolos seleksi kelak akan selalu mengingat jasa industri rokok terhadap prestasi yang sudah mereka capai. 

Seolah ada hutang budi bahwa kalau bukan karena industri rokok, mereka tidak akan pernah berprestasi. Kalau bukan karena industri rokok, tidak akan terselenggara ajang pencarian bakat bagi generasi muda di bidang olahraga.

Seperti inilah cara industri rokok memanipulasi larangan promosi produk rokok secara langsung. Menginfiltrasi event-event untuk generasi muda dengan sokongan dana yang nyaris tak terbatas adalah strategi industri rokok dalam menancapkan image belas kasih mereka. 

Maka, jika ada yang bertanya "PB Djarum sudah berbuat banyak (pada olahraga), KPAI sudah berbuat apa", saya ingin sedikit memutar balik pertanyaan tersebut dan mengganti penyebutan KPAI menjadi, "Pemerintah sudah berbuat apa?" 

Saya menganggap aneh pertanyaan tersebut karena tidak ada hubungannya sama sekali antara KPAI dengan pembinaan olahraga. Justru yang harus dipertanyakan adalah pemerintah itu sendiri, dalam hal ini Kemenpora.

Apa yang sudah diperbuat Kemenpora hingga membiarkan industri rokok menjadi andalan untuk mendanai ajang pencarian bakat olahraga? Apa yang sudah diperbuat Kemenpora hingga seolah-olah tanpa industri rokok olahraga Indonesia akan sengsara? 

Jika industri rokok diijinkan menjadi penyandang dana bagi audisi bulutangkis, maka cabang olahraga lainnya pun hendaknya diperbolehkan juga. Biarkan industri rokok masuk kembali ke lapangan sepakbola seperti yang pernah mereka lakukan pada tahun 1990-an. Adil bukan? 

Dengan begitu, para pesepakbola kita tidak akan merana lagi. Nasib mereka akan terjamin berkat guyuran dana dari industri rokok. Dengan begitu pula, prestasi olahraga nasional akan semakin meningkat. Semua itu berkat industri rokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun