"Jika ada Medali Olimpiade yang diberikan karena keberanian, keuletan, dan penolakan untuk mengakui inferioritas, TIM SEPAKBOLA INDONESIA akan memenangkannya kemarin di Olympic Park. Mereka membingungkan para ahli, membuat takjub para penonton dan membuat tim Rusia imbang tanpa gol, bahkan setelah waktu tambahan diberikan. Itu adalah pertandingan sepak bola paling fantastis yang pernah saya lihat. "
(Bill Fleming, wartawan sepakbola senior pada Argus Newspaper Australia, 1956).
Olahraga kita pernah mencapai puncak kejayaan, tak terkecuali sepakbola. Meskipun belum pernah meraih medali emas di ajang kompetisi tingkat dunia, Timnas Sepakbola Indonesia pernah membuat mata dunia terpengarah. Seperti yang diungkapkan Bill Fleming di atas.
Ketika itu, anak asuh Tony Pogacknik mampu menahan imbang Timnas Rusia yang gawangnya dijaga Lev Yashin, si Laba-laba Hitam. Sampai babak perpanjangan waktu, kedua tim bermain imbang tanpa gol sebelum akhirnya Timnas Rusia menang lewat adu penalti.
Tak berhenti disitu, Tony Pogacknik juga berhasil mengantarkan Timnas Indonesia menjadi kesebelasan yang ditakuti di level Asia, lewat beberapa prestasi yang dibawa tim asuhannya. Menutup periode 1950an Indonesia memenangi medali perunggu Asian Games 1958, di Tokyo, Jepang.
Kemudian pada Asian Games 1962 di Jakarta, kesebelasan Indonesia memperoleh medali perak. Timnas Indonesia juga menjuarai berbagai turnamen internasional bergengsi seperti Merdeka Games (Malaysia), King's Cup (Thailand), Queen's Cup (Thailand), Agha Khan Gold Cup (Pakistan), President Cup (Korea Selatan), dan Pesta Sukan (Singapura).
Apa rahasia di balik prestasi gemilang Timnas Sepakbola Indonesia saat itu?
Selain polesan tangan dingin sang pelatih, kesuksesan Timnas Indonesia tak lepas dari sistem pembinaan PSSI serta suasana kondusif yang diciptakan pemerintah.
PSSI berhasil membuat sepakbola sebagai alat untuk membangun karakter bangsa, yang bisa membuat rakyat Indonesia memiliki kebanggaan dan harga diri tinggi sebagai salah satu kekuatan sepakbola Asia, bahkan dunia.
Sementara pemerintah memiliki peran dengan tidak ikut campur dalam sisi teknis pembinaan dan bisa menciptakan suasana kondusif yang mendukung pembinaan induk olahraga.
Tak hanya sepakbola saja, beberapa cabang olahraga lain juga pernah menorehkan prestasi gemilang dan membuat harum nama bangsa kita. Kita pernah memiliki jagoan bulutangkis dunia mulai dari Rudi Hartono, Liem Swie King, Alan Budikusuma, hingga Susi Susanti.
Kita pernah memiliki ratu tenis Yayuk Basuki yang pernah bertengger di 20 besar petenis dunia. Kita pernah memiliki tim panahan wanita yang ketepatan anak panahnya bak mitologi Srikandi.
Lalu, mengapa semua prestasi itu tak bisa terulang kembali? Apakah ada yang salah dengan pembinaan olahraga kita?
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pembinaan olahraga di Indonesia. Setiap federasi atau induk cabang olahraga tentu menginginkan seluruh atletnya bisa meraih prestasi.
Namun, ada satu perbedaan besar yang bisa kita amati dan mungkin bisa kita jadikan kambing hitam atas jebloknya prestasi olahraga nasional.
Politisasi membuat olahraga kita ditakdirkan jadi pecundang
Pemerintah pada masa dulu tidak menjadikan olahraga sebagai alat pencitraan politik rendahan. Pemerintah saat itu tidak menjadikan sepakbola Indonesia maupun cabang olahraga lainnya sebagai alat perjuangan "low politic" alias politik ecek-ecek para pejabat atau politisi untuk meraih kekuasaan dan kemudian melanggengkan kekuasaannya sementara prestasi olahraganya sendiri jeblog.
Belum pernah sekalipun kita mendengar ada politisi zaman dulu yang mengklaim paling berjasa bila ada satu-dua atlet yang berprestasi. Belum pernah kita dapati ada atlet-atlet jaman dulu yang diundang pihak-pihak tertentu untuk kemudian dijadikan alat pencitraan pribadi.
Berbeda dengan masa sekarang. Politisasi membuat olahraga kita seolah ditakdirkan untuk jadi pecundang.
Ada sedikit prestasi saja, para politisi berlomba-lomba memberi perhatian. Sesuatu yang belum pernah mereka lakukan ketika si atlet tengah berjuang mengharumkan nama bangsa. Sesuatu yang mungkin tidak akan mereka berikan seandainya si atlet tidak menorehkan prestasi apapun.
Prestasi yang didapat dengan kerja keras itu seolah hanya dijadikan "public relations" untuk menarik massa.
Belum lagi peran media dalam memberitakan si atlet secara berlebihan. Tak bisa dipungkiri, sanjungan hiperbolis yang kerap diberikan media, dan terutama netizen, bisa menjadi racun yang melenakan si atlet, alih-alih memberi suntikan semangat untuk mempertahankan dan memperbaiki prestasinya.
Dari sini bisa kita lihat bahwa bukan pembinaan olahraganya yang salah. Melainkan suasana yang diciptakan pemerintah tidak mendukung dan menghambat keberlangsungan prestasi yang sudah ditorehkan sebelumnya.
Jangankan berpikir melangkah ke tingkat dunia, untuk level Asia Tenggara saja kita sudah jauh tertinggal, sudah mulai disalip oleh negara-negara yang dulu pernah kita remehkan.
Pada momen Hari Olahraga Nasional 2019, yang bisa kita harapkan hanyalah kesadaran dari para pengurus induk olahraga, politisi dan pemerintah, agar olahraga kita dikembalikan lagi menjadi olahraga yang "High Politic".
Olahraga yang bisa membangun karakter bangsa, yang bisa membuat rakyat Indonesia menjadi bangga dan mempunyai harga diri sebagai sebuah negara yang besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI