Apa yang kututurkan kali ini berdasarkan kisah nyata. Â Kejadiannya memang sudah lama, sekitar 20 tahun yang lalu waktu aku masih kuliah di sebuah universitas negeri di Kota Malang.
Ketika itu, semua fakultas di sedang menggelar masa Orientasi dan Pengenalan Kampus (Ospek). Aku sendiri tidak ikut masuk kepanitiaan yang mengospek adik tingkat. Waktu itu aku sedang disibukkan dengan aktivitas jurnalistik kemahasiswaan, termasuk meliput kegiatan ospek di fakultas yang dipusatkan di gedung laboratorium jurusan yang bagian belakangnya ada tanah lapang.
Singkat cerita, di sore hari yang naas itu aku melihat beberapa mahasiswa baru sedang dirawat tim KSR PMI (Korps Sukarela PMI). Diantaranya, ada tiga mahasiswa baru yang tampak pingsan. Aku pun berinisiatif mendekat dengan maksud mungkin ada yang bisa kubantu.
Dari dekat itulah aku melihat ada yang aneh pada mahasiswa yang pingsan tersebut. Instingku mengatakan mereka bukan pingsan biasa. Berbekal sedikit pengetahuan, kupijit jempol kaki salah seorang mahasiswi.
Tiba-tiba mahasiswi tersebut berteriak keras. Anehnya, suara yang keluar seperti bukan suaranya sendiri. Suara perempuan yang melengking dan  menggema seolah datang dari dunia lain. Matanya melotot, lalu terpejam lagi. Meski pingsan, raut muka mahasiswi itu terlihat tegang.
Seketika itu, dua mahasiswi lain yang tadinya tampak pingsan ikut berteriak. Pada saat yang bersamaan, terdengar kehebohan di lapangan terbuka belakang gedung, tempat mahasiswa baru lainnya menjalani ospek. Mahasiswa senior yang menjadi panitia menjadi kebingungan dan panik.
Aku lalu mendekati teman saya yang ikut menjadi panita. Kukatakan bahwa mereka yang pingsan itu bukan karena kelelahan atau sebab fisik lainnya.
"Mereka kesurupan Wan," kataku pada Iwan, panitia seksi kesehatan.
"Serius?" tanya Iwan sambil melihat sekeliling ruangan yang dijadikan tempat perawatan.
"Sini lihat sendiri," kataku lalu menggeret Iwan mendekati salah seorang mahasiswi yang pingsan.
Aku lalu jongkok dan kembali kupijit jempol kakinya. Sekali lagi, terdengar lengkingan suara perempuan muda yang menggaung di sekeliling ruangan. Kali ini, badannya menggeliat dan berusaha meronta. Beberapa mahasiswa yang ada di dekatnya langsung memegangi kedua tangannya dan berusaha menidurkannya kembali.
"Ada yang merasuki mereka Wan. Dan yang ini paling kuat, mungkin pemimpinnya. Kamu lihat sendiri waktu dia berteriak langsung menular pada yang lain," kataku.
Wajah Iwan tampak kebingungan, sekaligus tegang. Dia mendekati beberapa panitia yang sedang berkumpul merundingkan kejadian yang sangat tidak terduga ini. Dari luar ruangan panitia ospek dibantu mahasiswa baru menggotong teman mereka yang pingsan di lapangan setelah mendengar lengkingan suara tadi.
Aku lalu berkeliling melihat korban lainnya. Kuhitung ada sekitar 15 mahasiswa baru yang pingsan. Kondisinya sama dengan mahasiswi yang jempol kakinya kupijit tadi. Raut wajah yang tegang meski mata tertutup rapat. Beberapa diantaranya badannya bergerak-gerak pelan.
Kulihat Iwan bersama Dodik, ketua panitia ospek fakultas bergegas mendatangiku.
"Mam, kamu bisa menangani?" tanya Dodik.
Aku menggelengkan kepala.
"Gak bisa Dik. Aku gak tahu bagaimana cara meruqyah. Lebih baik kalian panggil ustad saja. Sekalian coba hubungi Sigit, mungkin dia bisa membantu."
Sigit, teman kuliah kami setahuku punya kemampuan indra keenam. Dia juga sering mengalami hal-hal mistis dan tahu seluk beluk supranatural.
"Gimana Wan," tanya Dodik menolah ke Iwan.
"Aku gak punya kenalan ustad yang bisa meruqyah Dik," jawab Iwan.
"Begini saja, coba kalian tanya ke takmir Masjid kampus, atau ke penduduk kampung sebelah. Mungkin mereka tahu siapa ustad yang bisa meruqyah," kataku memberi saran. Gedung laboratorium fakultasku ini memang dekat dengan perkampungan penduduk, tinggal jalan kaki beberapa meter melewati gerbang belakang kampus.
"Oke. Wan, minta beberapa teman ke Masjid kampus, dan yang lain ke masjid di kampung sebelah. Kalau ada ustad yang bisa meruqyah, minta dengan sangat supaya mau kesini," kata Dodik pada Iwan.
Iwan mengangguk, lalu mengumpulkan panitia lainnya untuk berbagi tugas.
"Mam, kamu gak keberatan kan kalau disini sebentar? Mungkin kami butuh bantuanmu," kata Dodik padaku.
Aku mengangguk setuju, lalu kembali mendekati mahasiswi lain yang kuduga juga kesurupan makhluk halus itu. Beberapa panitia dan mahasiswa baru lainnya memegangi tubuhnya yang berusaha meronta.
Sambil jongkok di dekatnya, aku melafalkan beberapa ayat suci Al Quran yang pernah diajarkan guruku. Tak lupa kupijit-pijit jempol kakinya karena kata guruku dulu, disitulah pintu masuk dan pintu keluarnya makhluk halus yang merasuki tubuh manusia fana.
Entah berapa lama kami menunggu kedatangan ustad untuk meruqyah korban kesurupan massal ini. Para mahasiswa baru yang dirasuki makhluk halus ini terus meronta, sesekali ada yang berteriak keras dengan suara yang bukan miliknya.
Beberapa saat kemudian datanglah Iwan bersama seorang pria muda tak kukenal. Mungkin dia ustadnya, pikirku. Iwan mengajak ustad tersebut ke tempat mahasiswi yang pertama kali kesurupan, dan sambil menoleh kepadaku Iwan memberi isyarat supaya aku ikut serta.
Ustad muda tersebut lalu duduk di dekat mahasiswi itu. Setelah menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar dengan jelas, dipijitnya jempol kaki si mahasiswi sambil bertanya,
"Siapa kamu?"
Tak ada jawaban yang keluar. Ustad muda itu kembali memijit jempol kakinya, kali ini dengan agak keras dan bertanya,
"Siapa kamu?"
Tiba-tiba saja mahasiswi itu terbangun duduk tegap dan berteriak sangat keras dengan suara melengking tajam.
"Putri.....!"
Kemudian tubuhnya langsung ambruk. Untunglah ada beberapa panitia yang berada di belakangnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur lantai. Kulihat matanya membeliak dan dari mulutnya keluar desis aneh. Ruang perawatan yang tadinya cukup riuh mendadak hening.
Dengan perlahan, ustad muda itu mengusap wajah si mahasiswi. Muka yang tadinya tegang mulai mencair, meski tubuhnya masih sedikit menggeliat.
"Putri, mengapa kamu masuk ke tubuh ini?" tanya ustad muda tersebut.
"Rumahku dirusak!" kata makhluk halus yang mengaku bernama Putri tersebut.
"Rumahmu di mana?"
"Disitu!" jawab Putri menggeram marah sambil "menggerakkan" tangan mahasiswi yang dirasukinya, menunjuk ke luar ruangan.
"Anak ini tidak tahu kalau ada rumahmu di situ, Putri. Maukah kamu keluar? Biar saya yang memintakan maaf  untuk anak ini padamu," kata ustad muda itu dengan tenangnya.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mahasiswi tersebut. Hanya kepalanya yang menggeleng kuat.
"Kamu tidak mau keluar?" tanya ustad muda itu, kali ini dengan nada agak keras.
Kembali mahasiswi itu menggelengkan kepalanya.
"Baiklah. Kalau Putri tidak mau keluar sendiri, saya terpaksa mengeluarkan Putri dengan paksaan. Lalu Putri akan saya buang jauh-jauh supaya tidak mengganggu siapapun juga."
Mahasiswi yang kerasukan Putri itu kembali menggelengkan kepalanya. Tubuhnya meronta dengan kuat hingga beberapa panitia harus memeganginya dengan erat.
Ustad muda itu lalu duduk bersimpuh di dekat mahasiswi tersebut dan meminta kami semua yang masih berdiri untuk ikut duduk atau berjongkok. Kemudian ustad muda tersebut memegang wajah si mahasiswi sambil melafalkan ayat suci.
Tubuh mahasiswi itu meronta dan suara keras bernada mengancam keluar dari mulutnya.
"Mau apa kamu, heh!"
Ustad muda itu tidak menjawab, masih meneruskan usahanya mengeluarkan Putri dari tubuh si mahasiswi. Tak lama kemudian terdengar teriakan keras yang menggema ke seluruh ruangan. Tubuh mahasiswi itu berusaha untuk bangun namun berhasil ditahan dengan susah payah oleh beberapa panitia.
Kemudian hening. Tak ada suara apapun yang keluar dari mulut mahasiswi. Matanya tertutup dan raut wajahnya juga terlihat tidak tegang lagi.
"Lebih baik kalian antarkan mahasiswi ini pulang ke rumah. Saya akan menemani untuk berjaga-jaga," kata ustad tersebut pada panitia ospek. Dodik, ketua panitia yang ada di dekatnya mengangguk lalu meminta rekannya untuk menyiapkan kendaraan.
Sebuah sentuhan yang hinggap di pundak membuatku sedikit terperanjat. Kutoleh ke belakang dan kulihat Sigit, teman kami yang berpengalaman dalam masalah supranatural sudah datang. Sigit memberi isyarat padaku untuk mengikutinya ke luar ruangan.
Kulihat Sigit melangkah ke lapangan volley tempat ospek fakultas diselengarakan. Lapangan itu dulunya tanah kosong yang dipenuhi semak belukar. Hanya bagian tengah saja yang dibersihkan untuk digunakan sebagai tempat pertandingan. Sementara di sekelilingnya masih tumbuh semak-semak liar.
Sigit mengajakku ke sebuah sudut lapangan. Setelah itu dia berjongkok, lalu melihat sekelilingnya.
"Di sini rumah Putri," kata Sigit.
Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Matahari sudah hampir terbenam seluruhnya sehingga suasana di lapangan menjadi temaram. Entah mengapa nafasku menjadi berat. Sialan Sigit, mengapa pula aku yang diajaknya?
"Ada yang merusak rumah Putri. Entah si mahasiswi itu atau orang lain," kata Sigit padaku.
Aku hanya terdiam tidak menyahut omongannya. Tiba-tiba Sigit berdiri mengagetkanku. Kemudian dia mengajak berpindah ke sudut lapangan yang lain.
"Disini juga ada beberapa rumah 'mereka'," kata Sigit. Aku tahu siapa yang dimaksudkannya.
"Aku tadi sudah membuat 'Pagar Pembatas'. Sudah kuberitahu Dodik supaya panitia dan mahasiswa tidak dekat-dekat dengan pagar itu kalau besok masih ospek disini. Tapi lebih baik pindah saja lah. Masih cukup berbahaya kalau ospeknya dilakukan disini lagi," kata Sigit memberitahu.
Kami berdua lalu kembali ke ruang perawatan. Sesampainya di sana, kulihat si mahasiswi yang kesurupan Putri sudah tidak ada. Begitu pula dengan ustad muda yang meruqyahnya. Saat kutanyakan pada Iwan, dia menjawab mahasiswi tersebut dipulangkan dengan ditemani Dodik dan pak Ustad. Anehnya, beberapa mahasiswa baru yang tadinya ikut kesurupan mendadak jadi tenang ketika mahasiswi yang kerasukan roh Putri diantar pulang. Iwan juga memberitahuku bahwa ospek fakultas dihentikan dan diganti dengan pembekalan materi di ruang kelas.
Karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku mengajak Sigit pulang ke rumah kontrakan. Tak lama kemudian beberapa teman yang ikut menghuni rumah kontrakan berdatangan. Ramai kami membicarakan kesurupan massal yang menimpa mahasiswa baru tadi sore.
Usai adzan Isya, Dodik dan Iwan datang ke rumah. Kulihat wajah keduanya sedikit tegang. Tanpa sempat berbasa-basi, Dodik langsung berkata,
"Mam, Putri datang lagi.....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H