Pemerintahan Belanda menganggap Aloon-Aloon (lama) tidak lagi cocok sebagai pusat kota modern karena sudah ditempati oleh penduduk asli dari sore hingga larut malam.
Untuk memperkuat citra ini, pemerintah Belanda memberi nama ruas jalan di sekitar Alun-alun Bunder dengan nama para gubernur jenderal Hindia Belanda. Seperti Daendelsboulevard, Spelmaanstraat, van Heutszstraat, van Riebeekstraat dan sebagainya. Kawasan ini pun akhirnya dikenal sebagai Gouverneur-Generalbuurt (kawasan Gubernur Jendral).
Sementara untuk pemukiman pegawai pemerintahan Belanda di daerah Klodjen yang dekat dengan Alun-alun Bunder diberi nama tokoh-tokoh kerajaan Belanda seperti Wilhelminastraat, Willemstraat, Julianastraat, Emmastraat dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Oranjebuurt (daerah orange atau daerah dengan nama anggota keluarga kerajaan Belanda).
Tempat yang dapat digunakan sebagai taman bermain, berolahraga, berdagang, hingga melakukan acara keagamaan. Sedangkan Bundaran Tugu, meskipun terbuka untuk umum jarang sekali dijadikan tempat beraktivitas oleh masyarakat biasa.Â
Bundaran Tugu seolah hanya menjadi penghias Balai Kota Malang saja yang mempresentasikan ruang untuk kaum elit, tak lebih dari itu.
Referensi:
Basundoro, Purnawan. The Two alun-alun of Malang (1930–1960), dalam Cars, Conduits and Kampongs: The Modernization of the Indonesian City, 1920-1960. Brill, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H