Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Malang, Kota dengan Dua Alun-alun

26 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 26 Agustus 2019   20:01 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bundaran Tugu Kota Malang | Sumber foto: dokumentasi Annisa Alwita melalui wikipedia.org

Pemerintahan Belanda menganggap Aloon-Aloon (lama) tidak lagi cocok sebagai pusat kota modern karena sudah ditempati oleh penduduk asli dari sore hingga larut malam.

Untuk memperkuat citra ini, pemerintah Belanda memberi nama ruas jalan di sekitar Alun-alun Bunder dengan nama para gubernur jenderal Hindia Belanda. Seperti Daendelsboulevard, Spelmaanstraat, van Heutszstraat, van Riebeekstraat dan sebagainya. Kawasan ini pun akhirnya dikenal sebagai Gouverneur-Generalbuurt (kawasan Gubernur Jendral).

Sementara untuk pemukiman pegawai pemerintahan Belanda di daerah Klodjen yang dekat dengan Alun-alun Bunder diberi nama tokoh-tokoh kerajaan Belanda seperti Wilhelminastraat, Willemstraat, Julianastraat, Emmastraat dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Oranjebuurt (daerah orange atau daerah dengan nama anggota keluarga kerajaan Belanda).

wajah Alun-alun Malang saat ini (sumber foto: ngalam.co)
wajah Alun-alun Malang saat ini (sumber foto: ngalam.co)
Kesan dan citra yang membedakan fungsi simbolis kedua alun-alun ini melekat dan bertahan sampai sekarang. Masyarakat Kota Malang dan sekitarnya lebih banyak dan lebih senang berkumpul dan rekreasi di alun-alun. Bagi mereka, alun-alun adalah ruang publik yang menjadi hak milik rakyat biasa. 

Tempat yang dapat digunakan sebagai taman bermain, berolahraga, berdagang, hingga melakukan acara keagamaan. Sedangkan Bundaran Tugu, meskipun terbuka untuk umum jarang sekali dijadikan tempat beraktivitas oleh masyarakat biasa. 

Bundaran Tugu seolah hanya menjadi penghias Balai Kota Malang saja yang mempresentasikan ruang untuk kaum elit, tak lebih dari itu.

Referensi:
Basundoro, Purnawan. The Two alun-alun of Malang (1930–1960), dalam Cars, Conduits and Kampongs: The Modernization of the Indonesian City, 1920-1960. Brill, 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun