Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Audisi Beasiswa Bulutangkis, Bentuk Promosi Industri Rokok Berkedok Filantropis?

1 Agustus 2019   09:44 Diperbarui: 2 Agustus 2019   16:21 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita ada dalam bisnis rokok. Kita tidak ada dalam bisnis olahraga. Kita gunakan olahraga sebagai jalan untuk mengiklankan produk kita. Kita bisa pergi ke wilayah di mana kita bisa memasarkan suatu event, mengukur penjualan selama event, mengukur penjualan setelah event, dan lihatlah peningkatan penjualannya."

 Dokumen internal R.J. Reynolds Tobacco Company tahun 1989.

"Kita tidak akan membagikan uang dengan gratis. Kita telah membahas ini dengan seksama... publisitas dibangun di arena balap motor supaya terlihat sebagai olahraga yang cepat, menarik dan trendi untuk kaum muda dan, jika Anda suka, yang berjiwa muda. Itulah tujuan kita di pasar lokal dan indikasi awal apakah kita sudah tepat sasaran, "

Gordon Watson, pejabat BAT dikutip dari South China Morning Post (1984).[1]

Tidak ada satu pun orang yang akan mengatakan merokok itu ada hubungannya dengan olahraga, kecuali fakta bahwa beberapa event olahraga sponsor terbesarnya justru perusahaan rokok. 

Karena, seperti dikutip dari dokumen internal R.J Reynolds Tobacco Company, itulah satu-satunya jalan bagi perusahaan rokok untuk mengiklankan produk dan membranding perusahaan mereka.

Jika anda manajer pemasaran atau pemilik perusahaan, apa yang harus Anda lakukan untuk memasarkan suatu produk yang bisa membunuh setengah dari pengguna regulernya? 

Bujukan apa yang harus Anda pilih untuk membuat pengguna pemula menjadi kecanduan? Bagaimana Anda mengemas kematian sebagai kehidupan, penyakit sebagai kesehatan dan efek candu sebagai rasa kebebasan dan gaya hidup? 

Tak ada jalan lain kecuali dengan menginfiltrasi acara-acara olahraga atau seni dengan memberi dana sponsorship yang sangat besar. Mengemas imej dan brand mereka melalui berbagai macam iklan terselubung yang semuanya bertujuan untuk mengasosiasikan brand rokok sebagai produk biasa-biasa saja. Itulah yang dilakukan perusahaan rokok di seluruh dunia. 

Kampanye Olahraga Bebas Rokok oleh WHO

Sejak mengampanyekan Hari Bebas Tembakau sedunia pada 31 Mei 1987, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti keikutsertaan perusahaan rokok dalam berbagai event olahraga tingkat dunia. 

sumber foto: republika.co.id
sumber foto: republika.co.id
Sepakbola, bulutangkis, balap mobil hingga balap motor dan berbagai event cabang olahraga lainnya mendapatkan dana sponsorship yang sangat besar dari perusahaan rokok. 

Menanggapi berbagai desakan dari banyak pihak tentang bahaya merokok dan infiltrasi mereka di dunia olahraga, pada tahun 2002, WHO dan berbagai mitranya meluncurkan kampanye bertajuk "Tobacco Free Sports, Play It Clean" untuk membersihkan olahraga dari semua bentuk konsumsi rokok, iklan, promosi, pemasaran atau apapun jenis kegiatan yang membawa merek perusahaan rokok. 

Untuk memperkuat kampanye tersebut, pada tahun 2005 WHO mengeluarkan Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian Rokok (WHO Framework Convention on Tobacco Control/WHO FCTC).

Ini adalah perjanjian supranasional yang berupaya "melindungi generasi sekarang dan masa depan dari konsekuensi kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi yang merusak akibat konsumsi rokok dan paparan asap rokok" dengan memberlakukan seperangkat standar universal yang menyatakan bahaya rokok dan membatasi penggunaannya dalam semua bentuk kegiatan di seluruh dunia. 

Dalam pasal 13 FCTC, WHO mewajibkan semua pihak yang terikat Konvensi untuk menerapkan larangan (atau pembatasan) yang komprehensif terhadap iklan, promosi, dan pemberian sponsor rokok. Definisi "iklan dan promosi rokok" dan "sponsor rokok" adalah luas dan mencakup semua bentuk kegiatan dengan efek atau kemungkinan efek dari mempromosikan produk rokok atau penggunaan rokok baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sekalipun sudah diserukan secara global dan bahkan diikat dengan perjanjian yang diratifikasi langsung oleh PBB, namun perusahaan rokok tidak kehilangan akal. 

Iklan rokok boleh dilarang, acara olahraga juga sudah banyak yang lepas dari sponsor produk rokok. Namun bukan berarti olahraga bisa bebas dari brand perusahaan dan industri rokok. 

Setidaknya inilah yang belakangan ini disorot oleh WHO. Pada pertengahan Mei kemarin, WHO kembali mendesak pemerintah untuk memberlakukan larangan iklan rokok, promosi dan sponsor di acara olahraga, termasuk ketika menjadi tuan rumah atau menerima siaran acara Formula 1 dan MotoGP. 

WHO juga mendesak semua badan olahraga, termasuk Formula 1 dan MotoGP, untuk mengadopsi kebijakan bebas rokok yang kuat yang memastikan event olahraga mereka bebas asap rokok dan aktivitas serta peserta event mereka, termasuk tim balap, tidak disponsori oleh perusahaan rokok. 

Seruan WHO ini muncul karena beberapa perusahaan rokok internasional menjalin kemitraan baru dengan tim balap motor. Baru-baru ini, BAT (British American Tobacco) mengumumkan "kemitraan global baru" dengan tim Formula 1 McLaren dengan menggunakan logo dan tagline "A Better Tomorrow." 

Dalam pengumumannya, BAT menunjukkan bahwa kemitraan multi-tahun akan menyediakan platform global untuk mendorong yang lebih besar resonansi produk rokok tertentu.

logo a better tomorrow dari BAT di mobil Mclaren Mercedes (sumber foto: bat.com)
logo a better tomorrow dari BAT di mobil Mclaren Mercedes (sumber foto: bat.com)

Sementara itu, Philip Morris International (PMI), menciptakan logo baru (Mission Winnow) yang dipasang di Ferrari (F1) dan Ducati (MotoGP), yang sebelumnya membawa branding untuk merek rokok Marlboro. PMI juga telah mendaftarkan logo Mission Winnow sebagai merek dagang, termasuk untuk digunakan sehubungan dengan produk rokok mereka.

logo Mission Winnow dari Philip Morris di motor Ducati (sumber foto: ducati.com)
logo Mission Winnow dari Philip Morris di motor Ducati (sumber foto: ducati.com)

Audisi Beasiswa Bulutangkis, eksploitasi atau alasan filantropis?

Sebagai pengalihan dari bahaya yang ditimbulkan oleh produk mereka, sudah lama perusahaan rokok memanipulasi iklan mereka. Tak ada iklan rokok yang kontennya mendorong langsung pada konsumsi rokok. 

Alih-alih membuat orang yang sebelumnya tidak merokok menjadi pecandu rokok, perusahaan rokok mengemas iklan dan kegiatan promosi mereka sedemikian rupa sehingga yang dilihat oleh konsumen adalah sebuah iklan gaya hidup hingga imej brand perusahaan sebagai pendukung utama event olahraga. 

Seperti yang bisa kita lihat dari kasus audisi beasiswa bulutangkis yang diselenggarakan oleh Djarum Foundation. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai audisi tersebut mengeksploitasi anak secara terselubung untuk mendukung industri rokok. 

"Kegiatan audisi beasiswa bulutangkis yang dilakukan oleh Djarum Foundation pada hari Minggu 28 Juli 2019 di GOR KONI Bandung sebagai sebuah bentuk kegiatan eksploitasi anak secara terselubung oleh industri rokok," kata Siti dalam siaran tertulis, Senin, 29 Juli 2019. 

Djarum Foundation, yang didirikan oleh Djarum Group kembali menyelenggarakan Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2019. Tahun ini, rangkaian seleksi digelar di lima kota yakni Bandung, Purwokerto, Surabaya, Solo Raya dan Kudus. Proses seleksi difokuskan pada dua kelompok usia yakni U-11 (di bawah usia 11 tahun) dan U-13 (di bawah usia 13 tahun) baik putra dan putri yang akan diasah kemampuannya menjadi calon juara bulutangkis Indonesia bersama PB Djarum. 

Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation, Yoppy Rosimin, menampik tudingan KPAI itu. Ia mengatakan bahwa kegiatan audisi beasiswa bulutangkis tidak berkaitan dengan promosi rokok ke anak-anak. "Yang benar audisi pencarian bibit atlet badminton via Djarum Foundation dan Djarum Badminton Club," kata Yoppy kepada Tempo, Senin, 29 Juli 2019. 

Lebih lanjut, Yoppy mengatakan bahwa ia telah menjelaskan agar KPAI menyimak dengan cermat bahwa tidak ada sama sekali aktivitas promosi rokok ke anak-anak. 

Apa yang disampaikan Yoppy memang benar. Dalam penyelenggaraan audisi beasiswa untuk anak-anak yang berbakat bulutangkis itu, tidak ada aktivitas promosi rokok ke anak-anak. Bahkan tidak ada satu pun tampilan konten iklan produk rokok. Semua bentuk kegiatan itu adalah murni diadakan Djarum Foundation dan Djarum Badminton Club. 

Meski begitu, KPAI juga benar, setidaknya dari narasi siaran pers mereka, bahwa audisi tersebut adalah bentuk eksploitasi anak untuk industri rokok -- bukan produk rokoknya secara langsung. 

Sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 FCTC, bahwa definisi "iklan dan promosi rokok" dan "sponsor rokok" adalah luas dan mencakup semua bentuk kegiatan dengan efek atau kemungkinan efek dari mempromosikan produk rokok atau penggunaan rokok baik secara langsung maupun tidak langsung

Bagaimanapun juga, Djarum Foundation dan Djarum Badminton Club tak bisa dipisahkan dari induk mereka, perusahan rokok Djarum. Bahkan, di kaos peserta audisi yang notabene adalah anak-anak, dengan jelas terdapat logo Djarum, identik dengan yang ada di produk rokok mereka. 

Adakah kita bisa memungkiri fakta tersebut? Apakah kita bisa memisahkan Djarum Foundation dan Djarum Badminton Club, baik secara brand maupun dukungan finansial dari perusahaan induk yang sudah menghidupi nyawa mereka? 

Sudah lama perusahaan-perusahaan rokok mengklaim kegiatan mereka mensponsori olahraga adalah karena tugas filantropis, alasan cinta kasih pada sesama. Begitu pula dengan aktivitas mereka di bidang sosial kemasyarakatan lainnya. 

Kucuran beasiswa maupun dukungan sponsor dari Djarum Foundation, Sampoerna Foundation atau yayasan lain yang didirikan perusahaan rokok sering diklaim sebagai bagian dari Customer Social Responsibility (CSR). Kegiatan sosial mereka sering diasosiasikan sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian sosial perusahaan pada masyarakat. 

Seni membingkai promosi industri rokok lewat dukungan olahraga dan sosial.

Namun, sebagaimana yang dikutip dari dokumen internal R.J Reynolds, perusahaan rokok masuk ke dunia olahraga, seni maupun aktivitas sosial bukan tanpa pamrih. 

Ketika iklan rokok dilarang tampil di berbagai bentuk media, jalan apalagi yang dimiliki perusahaan rokok untuk mempromosikan dan menjual produk mereka? Solusi apa yang harus ditempuh perusahaan rokok untuk tetap bisa menjual produk mereka ke masyarakat sekaligus memperkuat imej dan brand perusahaan? 

Jawabannya bisa kita lihat pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan perusahaan rokok untuk mendukung kegiatan olahraga, musik hingga kegiatan sosial lainnya. 

Dana besar yang mereka kucurkan itu adalah bentuk manipulasi olahraga dan implikasi dari seni membingkai promosi dan pemasaran produk mereka.

Seolah-olah perusahaan rokok itu ingin menyampaikan pesan pada masyarakat, bahwa tanpa dana dari perusahaan rokok, kegiatan olahraga maupun seni dan sosial tidak akan sukses. 

Dengan menyelenggarakan audisi dan memberi dana sponsor yang sangat besar, perusahaan rokok ingin mengatakan pada badan olahraga hingga para atlet bahwa sukses mereka adalah berkat jasa perusahaan rokok. 

Di sisi lain (dan di sinilah letak dilema serta ironinya), kita juga harus mengakui sumbangsih perusahaan rokok - khususnya di Indonesia -- sangat besar dalam kegiatan olahraga, seni dan sosial di masyarakat, bahkan bagi negara sekalipun. 

Cukai rokok menjadi salah satu penyumbang devisa negara sekaligus penopang perekonomian. Dan yang sangat ironis adalah, cukai rokok digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan!

Sementara itu, para mahasiswa Indonesia pasti tahu dan ingin meraih beasiswa dari Djarum Foundation atau Sampoerna Foundation. Dan dari sisi olahraga, penggemar bulutangkis di Indonesia pastinya juga sudah tahu jasa besar Djarum Badminton Club (PB Djarum) dalam mencetak bintang-bintang bulutangkis yang sudah mengharumkan nama Indonesia. 

Dengan kata lain, seolah ada pesan khusus yang ingin disampaikan pada masyarakat olahraga Indonesia, "Kalau bukan perusahaan rokok, siapa yang peduli dengan bulutangkis Indonesia?", "Kalau bukan perusahaan rokok, siapa yang mau menyelenggarakan konser musik?" 

Padahal siapapun juga tahu, terutama setiap federasi olahraga dan para atlet, bahwa rokok itu tidak cocok dan tidak akan pernah berjalan serasi dengan nilai dan norma yang mereka bawa saat berolahraga. 

Catatan kaki:   [1] Tobacco Free Sports, play it clean (WHO, 2002)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun