Akhirnya, karena sudah terbiasa memasukkan cerita untuk mengilustrasikan poin teknis yang butuh penjelasan, kita bisa langsung masuk ke dalam cerita tanpa harus menggunakan kata-kata "misalnya."
Cara ajaib yang kedua adalah, kita bisa menggunakan ilustrasi atau narasi cerita untuk menghilangkan kalimat yang kabur dan hambar. Misalnya (Nah kan, saya menggunakan kata itu lagi), alih-alih menulis, "Tidak semua pembaca mengerti dan memahami berbagai istilah teknis atau paragraf yang padat,"Â kita bisa menceritakan sebuah kisah seperti yang saya tulis di paragraf awal.
Contoh lainnya adalah, alih-alih menulis "Beberapa hari ini saya menderita writer's block yang sangat parah. Tidak ada inspirasi sama sekali, dan tidak tahu harus menulis apa", kita bisa menceritakan sebuah kisah:
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6:00 pagi. Masih ada beberapa jam bagi saya untuk menulis tanpa gangguan sebelum berangkat kerja. Banyak penulis profesional yang mengatakan bahwa menulis di pagi hari adalah pengalaman ajaib. Tapi belakangan ini rasanya jauh berbeda dengan apa yang dirasakan para penulis profesional itu. Sejauh ini, yang berhasil saya capai dalam setengah jam terakhir hanya menulis ulang paragraf yang sama sekitar seratus kali sebelum saya menghapusnya dalam jumlah yang sama.
Nah, sekarang bandingkan sendiri, mana yang lebih berkesan?
Cara ajaib ini lebih efektif digunakan pada artikel yang ditujukan pada pembaca umum. Itu sebabnya sebuah artikel untuk umum yang isinya tentang penemuan obat untuk Alzheimer ketika diceritakan dengan kisah-kisah penderita Alzheimer dan keluarga mereka, bisa memberi kesan jauh lebih kuat daripada artikel yang hanya mengutip studi dan isinya berisi data statistik. Kisah-kisah itu akan lebih memengaruhi pembaca daripada yang bisa dilakukan oleh laporan hasil penelitian mana pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H