Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bahasa Etika, "Permissive Society" dan Selera Rendah Tulisan Kita

12 Juni 2019   23:34 Diperbarui: 13 Juni 2019   08:06 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi (unsplash.com/@romankraft)

Suatu ketika, seorang penulis hendak membeli kertas putih yang masih kosong belum berisi tulisan apapun. Ketika menanyakan harganya, si penulis mengeluh karena merasa harganya mahal.

"Mengapa harga kertas yang belum bertuliskan apapun ini lebih mahal dari harga kertas yang telah ditulisi? Bukankah tulisan mempunyai nilai tambah, sehingga ia seharusnya lebih mahal?" keluh si penulis pada penjual kertas.

"Tidak! Kertas putih ini belum dicemari oleh tulisan. Kertas yang telah ditulisi, seperti halnya pakaian kotor, harganya murah," kata si penjual menjawab keluhan si penulis tersebut.

"Mengapa tidak anda ibaratkan saja, kertas yang belum ditulisi ini seperti gelas kosong, dan yang telah ditulisi itu seperti gelas berisi minuman segar, menghilangkan dahaga dan tak habis-habisnya diminum?"

"Kalau anda ingin mengibaratkan seperti itu, maka anda juga harus melihat sisi sebaliknya. Bisa saja gelas itu bukan berisi air segar, namun air laut yang justru menambah dahaga, atau malah mungkin pula racun yang mematikan," tangkis si penjual.

Kisah tersebut diceritakan Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati (Mizan, 1994). Oleh Quraish Shihab, dialog antara penulis dan penjual kertas itu untuk menggambarkan aneka ragam tulisan dan gambar yang kita konsumsi sehari-hari.

Seperti yang kita lihat dan kita baca sendiri, ada kertas bertulisan memiliki nilai tambah, tapi banyak pula yang tidak memiliki nilai tambah, bahkan memiliki nilai minus. Isi dari sebuah tulisan atau apapun yang ingin disampaikan seorang penulis tak bisa lepas dari keinginan dari penulis itu sendiri dan tuntutan dari pembacanya.

Ada penulis yang ingin menuliskan sesuatu yang dia senangi, dia ketahui dan dia kuasai materi tulisannya dengan baik. Pertimbangannya semata demi kepentingan akan isi tulisan dan kemaslahatan/kebaikan yang bisa diperoleh pembaca dari isi tulisannya tersebut. Mereka inilah yang mengisi gelas kosong dengan air segar yang menghilangkan dahaga pengetahuan kita dengan tulisan-tulisan berupa pengetahuan yang bermanfaat, memotivasi dan inspiratif.  

Tak sedikit pula penulis yang menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang disenangi pembacanya, atau karena faktor pesanan; adanya imbalan materi, hubungan kekuasaan maupun ancaman. Kalau pertimbangannya adalah kesenangan pembaca semata seperti ini, nilai manfaat dari tulisan tersebut sulit untuk diraih.

Bahkan bisa jadi malapetaka akan terjadi jika sasaran yang dituju memiliki selera baca yang rendah. Persoalan akan semakin berbahaya bila popularitas dan keuntungan material menjadi tujuan utama dari penulis tersebut.

Penulis seperti inilah, yang alih-alih mengisi gelas kosong dengan air segar, ia malah mengisinya dengan air laut atau racun yang mematikan. Mereka mengisi gelas pengetahuan dan informasi kita dengan tulisan yang isinya mengandung kebencian, provokasi hingga informasi yang tidak jelas dan bahkan fitnah kejam.

Kita tidak bisa menafikan hal ini, bahwa diantara sekian banyak gelas berisi air segar, bisa jadi ada gelas-gelas berisi air laut atau racun yang mematikan. Diantara sekian banyak tulisan bermanfaat dan membawa kebaikan, terselip tulisan-tulisan berselera rendah yang bisa mematikan daya pikir, nalar dan hati nurani kita.

Bukan tidak mungkin, ditengah arus berita dan informasi yang semakin deras dan kencang ini, kelak rongga pengetahuan dan kebutuhan informasi kita juga akan penuh dengan tulisan-tulisan berselera rendah. Sebuah kemungkinan yang terbuka lebar mengingat kita hidup di tengah peradaban yang menjunjung tinggi kapitalisme, dimana nilai etika dan agama tidak lagi menjadi pertimbangan utama.

Dampak terburuk dari terjadinya kemungkinan ini adalah terbentuknya Permissive Society. Masyarakat permisif adalah masyarakat yang telah terkontaminasi pemikiran untuk memaklumi perilaku menyimpang dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Padahal dari sudut pandang etika, apalagi agama termasuk perbuatan terlarang. Pemikiran seperti ini lantas dalam perjalanannya mereka bisa bertoleransi dengan perbuatan-perbuatan yang terlarang pula. Yang berbahaya dari adanya masyarakat permisif ini adalah lahirnya hukum-hukum baru seperti dalam perspektif budaya primitif  "nopo-nopo kemawon kerso" (apapun itu silahkan saja), sehingga nilai-nilai sakral dalam etika dan agama terabaikan.

Apakah kondisi ini yang kita inginkan kelak, yang salah satu akarnya muncul dari tulisan-tulisan berselera rendah? Kita yang masih punya hati nurani tentu menjerit merasakan hal-hal tersebut terus terjadi di dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari jeritan nurani kita ini seharusnya bisa membangkitkan semangat kita untuk berusaha mengubahnya. Melalui apa?

Jika kita mengedepankan nilai-nilai atau bahasa agama, tentu akan sulit karena kita hidup dalam keberagaman,  di mana agama yang kita anut --sedikit atau banyak- kadang tidak dimengerti oleh pihak lain. Satu-satunya bahasa yang berlaku universal dan bisa dimengerti oleh semua pihak adalah bahasa moral -- bahasa etika.

Dalam masyarakat membangun, bahasa etika mampu membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan. Bahasa ini mampu pula meluruskan kekeliruan pada diri kita dan anggota keluarga kita, sebelum diluruskan oleh orang lain karena kita merasakan perasaannya.

Bahasa etika juga mampu mengantisipasi setiap perubahan - sekalipun itu disebabkan oleh berubahnya peradaban -- sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahteraan dan ketenteraman dalam masyarakat dan lingkungan yang kita huni.

Meskipun kita menyadari begitu pentingnya bahasa etika untuk membendung perilaku menyimpang dan membentuk masyarakat yang bermoral, hal ini tidak akan berarti banyak jika kita tidak mampu menerapkannya pada diri kita untuk kemudian diteladani oleh orang lain. Karena keteladanan adalah kunci untuk perubahan yang dinamis. 

Nah, sudahkah kita menulis dan menyampaikan informasi dengan bahasa etika?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun