Kita tidak bisa menafikan hal ini, bahwa diantara sekian banyak gelas berisi air segar, bisa jadi ada gelas-gelas berisi air laut atau racun yang mematikan. Diantara sekian banyak tulisan bermanfaat dan membawa kebaikan, terselip tulisan-tulisan berselera rendah yang bisa mematikan daya pikir, nalar dan hati nurani kita.
Bukan tidak mungkin, ditengah arus berita dan informasi yang semakin deras dan kencang ini, kelak rongga pengetahuan dan kebutuhan informasi kita juga akan penuh dengan tulisan-tulisan berselera rendah. Sebuah kemungkinan yang terbuka lebar mengingat kita hidup di tengah peradaban yang menjunjung tinggi kapitalisme, dimana nilai etika dan agama tidak lagi menjadi pertimbangan utama.
Dampak terburuk dari terjadinya kemungkinan ini adalah terbentuknya Permissive Society. Masyarakat permisif adalah masyarakat yang telah terkontaminasi pemikiran untuk memaklumi perilaku menyimpang dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Padahal dari sudut pandang etika, apalagi agama termasuk perbuatan terlarang. Pemikiran seperti ini lantas dalam perjalanannya mereka bisa bertoleransi dengan perbuatan-perbuatan yang terlarang pula. Yang berbahaya dari adanya masyarakat permisif ini adalah lahirnya hukum-hukum baru seperti dalam perspektif budaya primitif  "nopo-nopo kemawon kerso" (apapun itu silahkan saja), sehingga nilai-nilai sakral dalam etika dan agama terabaikan.
Apakah kondisi ini yang kita inginkan kelak, yang salah satu akarnya muncul dari tulisan-tulisan berselera rendah? Kita yang masih punya hati nurani tentu menjerit merasakan hal-hal tersebut terus terjadi di dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari jeritan nurani kita ini seharusnya bisa membangkitkan semangat kita untuk berusaha mengubahnya. Melalui apa?
Jika kita mengedepankan nilai-nilai atau bahasa agama, tentu akan sulit karena kita hidup dalam keberagaman, Â di mana agama yang kita anut --sedikit atau banyak- kadang tidak dimengerti oleh pihak lain. Satu-satunya bahasa yang berlaku universal dan bisa dimengerti oleh semua pihak adalah bahasa moral -- bahasa etika.
Dalam masyarakat membangun, bahasa etika mampu membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan. Bahasa ini mampu pula meluruskan kekeliruan pada diri kita dan anggota keluarga kita, sebelum diluruskan oleh orang lain karena kita merasakan perasaannya.
Bahasa etika juga mampu mengantisipasi setiap perubahan - sekalipun itu disebabkan oleh berubahnya peradaban -- sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahteraan dan ketenteraman dalam masyarakat dan lingkungan yang kita huni.
Meskipun kita menyadari begitu pentingnya bahasa etika untuk membendung perilaku menyimpang dan membentuk masyarakat yang bermoral, hal ini tidak akan berarti banyak jika kita tidak mampu menerapkannya pada diri kita untuk kemudian diteladani oleh orang lain. Karena keteladanan adalah kunci untuk perubahan yang dinamis.Â
Nah, sudahkah kita menulis dan menyampaikan informasi dengan bahasa etika?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H