Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Meluruskan Makna dan Tujuan Halal Bihalal

6 Juni 2019   15:01 Diperbarui: 6 Juni 2019   16:35 10665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (dokumentasi Himam Miladi)

Umat Islam Indonesia memang unik. Dari mereka kita mengenal berbagai istilah keagamaan yang khusus berlaku hanya di Indonesia.

Seperti kata "Lebaran". Konon kata yang dipakai untuk hari raya Idul Fitri ini berakar dari kata "jembar/lebar" yang artinya lapang. Maknanya, saat hari raya Idul Fitri hati kita harus lapang untuk memberi maaf pada orang yang sudah berbuat kesalahan bagi kita.

Masih dalam suasana Idul Fitri, kita mengenal pula istilah Halal Bihalal. Dibanding kata Lebaran, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam rangkaian perayaan Idul Fitri memiliki makna yang membingungkan. Sekalipun terkesan ke-Arab-araban, rangkaian kata ini ternyata tidak ada dalam kamus bahasa arab. 

Menurut penjelasan Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al Quran, setidaknya ada dua dasar tinjauan untuk memaknai istilah Halal Bihalal ini. Pertama, kata Halal dalam tinjauan hukum syariat Islam memiliki makna sesuatu hal yang diperbolehkan serta tidak mengandung dosa. 

Kata halal ini sering dihadapkan dengan lawan katanya, yakni haram yang artinya sesuatu hal yang dilarang, dan apabila dilanggar akan berakibat dosa dan mengundang siksa.

Jika didasarkan pada tinjauan ini dan dikaitkan dengan makna dan suasana hari raya Idul Fitri, maka halal bihalal bisa dimaknai menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan mengandung dosa menjadi halal dengan jalan saling memaafkan.

Masalahnya, kata halal sendiri mencakup 4 jenis hukum, yakni wajib (harus dilaksanakan), sunnah (dianjurkan, kalau dikerjakan mendapat pahala), makruh (diperbolehkan, tapi tidak disukai dan dianjurkan untuk tidak dikerjakan) dan mubah (diperbolehkan dan tidak mengandung akibat apapun).

Dengan begitu, halal bihalal dalam suasana Idul Fitri ini termasuk dalam lingkup yang mana? Halal yang wajib, sunnah, makruh atau mubah? Karena itu, istilah halal bihalal tidak bisa disandarkan dari tinjauan secara hukum syariat Islam ini.

Tinjauan yang kedua didasarkan dari segi bahasa. Kata halal, berakar dari kata halla atau halala memiliki arti yang beraneka ragam, disesuaikan dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. 

Beberapa makna yang tercakup dalam kata halal antara lain berarti "menyelesaikan problem", "meluruskan benang kusut", "melepaskan ikatan" dan "mencairkan yang beku".

Keempat makna tersebut dipilih karena sesuai dengan hakekat hari raya Idul Fitri. Karena itu, makna halal bihalal merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan.

Aktivitas halal bihalal erat kaitannya silaturahim. Saat ber-halal bihalal, kita berkumpul dengan kerabat, sahabat, teman dekat, rekan kerja atau tetangga sekampung. 

Boleh jadi antara kita dengan mereka semua itu ada hubungan yang dingin dan kusut yang ditimbulkan oleh sifat yang haram. Boleh jadi di antara kita dengan mereka yang ikut ber-halal bihalal ini pernah timbul perselisihan karena sikap tidak adil kita, kerenggangan hubungan karena kita lama tidak mengunjungi atau menyapa, atau kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak sengaja.

Semua itu memang tidak haram dalam pandangan Islam, tapi kita dituntut untuk menyelesaikannya dengan baik, meluruskan yang kusut, mencairkan suasana yang beku. Tujuannya tak lain supaya timbul keserasian dan keharmonisan hubungan kita dengan sesama.

Inilah makna sebenarnya dari halal bihalal. Atau jika istilah ini memang belum diserap dengan baik dalam perbendaharaan bahasa dan kita enggan menggunakannya, anggaplah itu merupakan hakikat Idul Fitri. 

Semakin banyak kita berjabat tangan dan melapangkan dada memohon maupun menerima maaf, semakin dalam pula kita menghayati dan mengamalkan hakikat Idul Fitri dalam selubung kata halal bihalal ini.

Akar katanya dari bahasa Arab, bentuk pemakaiannya sangat khas Indonesia, tapi hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam. Inilah uniknya halal bihalal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun