Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Keberagaman Menuntun Kita Menjadi Insan yang Bertakwa

30 Mei 2019   01:00 Diperbarui: 30 Mei 2019   02:06 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi Ayrton Eduardo (Gapura Digital)

Menikmati Keberagaman yang indah di bulan Ramadan 

Ramadan tahun ini, saya mendapat banyak teman baru yang sangat beragam latar belakangnya. Ada yang sebaya, ada pula yang lebih muda usianya. Ada yang asli dari Kota Malang, ada juga yang perantauan. Ada yang penampilannya selalu modis dan stylish, ada yang berhijab, ada pula yang berjenggot panjang dan selalu mengenakan celana cingkrang.

Ada yang berprofesi sebagai dosen, praktisi digital, pemilik butik, manajer restoran hingga pengusaha UMKM yang sudah sukses. Satu kesamaan yang dimiliki teman-teman baru saya ini adalah semangat mereka dalam membagikan motivasi berwirausaha serta ilmu dan pengetahuan tentang literasi digital pada pengusaha-pengusaha kecil lainnya.

Kami dipertemukan sebagai Fasilitator pada program Google Womenwill dan Gapura Digital. Ini adalah program pemberdayaan UMKM dalam hal literasi digital yang diinisiasi oleh Google. Selain di kota Malang, program ini juga menyasar pengusaha UMKM lainnya di 13 kota besar di Indonesia.

Sebagai fasilitator, kami sering mengobrol tak hanya di grup perpesanan, tapi juga bertemu dan berkumpul bersama. Selain obrolan ringan dan bersendau gurau, kami kerap membahas materi yang diajarkan.

Satu bulan sekali, kami biasanya menjadwalkan pelatihan internal bagi para Fasilitator. Dengan beragam profesi dan keahlian yang dimiliki para fasilitator, biasanya kami bergantian memberi materi pelatihan. Dengan begitu, ilmu-ilmu baru pun bisa kami dapatkan dari teman-teman sendiri. Di kesempatan pertemuan tersebut, tak jarang pula kami berbagi cerita sewaktu menjadi pemateri di acara pelatihan UMKM. Mulai dari suasana lucu saat pelatihan atau permintaan peserta yang ingin diajari secara privat.

Seperti pada pertengahan bulan Ramadan kemarin, kami berkumpul untuk berlatih public speaking sekaligus buka bersama. Karena ada rekan fasilitator yang punya keahlian public speaking, maka dia lah yang kali ini bertugas untuk melatih rekan-rekannya sendiri.

Begitulah, Ramadan tahun ini saya merasakan pengalaman yang berbeda. Menikmati semangat keberagaman yang terjadi pada satu fase perjalanan hidup saya selama ini saat ditunjuk menjadi salah satu fasilitator untuk mengajar literasi digital pada pelaku UMKM di Kota Malang.

***

Keberagaman menuntun kita menjadi insan yang bertakwa

Dalam Islam, semangat keberagaman dan sikap untuk menghargai perbedaan yang terjadi di sekeliling kita digambarkan dengan indahnya melalui firman Allah SWT dalam surah Al Hujurat ayat 13:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Sewaktu kecil hingga saat ini, masih banyak umat manusia yang bertanya, "Mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda? Padahal dengan kekuasaan-Nya, bukankah Tuhan mampu menciptakan manusia yang seragam?"

Pertanyaan itu dijawab oleh Allah melalui surah Hujurat ayat 13 tadi. Menurut salah satu versi asbabun nuzul-nya (sebab turunnya ayat Al Quran), ayat ini turun sewaktu Bilal mengumandangkan adzan ketika pasukan Islam menaklukkan kota Mekah. Setelah adzan selesai, ada seorang kaum Quraisy yang bertanya, mengapa yang mengumandangkan panggilan adzan itu Bilal bin Rabah, yang notabene adalah bekas budah belian yang berkulit hitam legam. Sementara masih banyak umat Islam lain yang dianggap lebih layak dan lebih berhak.

Allah pun menjawabnya dengan pesan langit yang begitu universal ini. Ayat ini diturunkan untuk menghapus sistem "kasta" dalam masyarakat Arab saat itu, menegaskan kembali bahwa bukan nasab (garis keturunan), harta, bentuk rupa atau status pekerjaan yang menentukan keutamaan seorang hamba Allah. Akan tetapi, yang menentukan keutamaan seorang manusia di sisi Allah adalah ketakwaan. Dan ketakwaan itu tidak bisa dibeli atau diraih dengan mengandalkan keutamaan nasab, suku atau marga, tapi dengan amal shalih.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, "Sesungguhnya kalian bertingkat-tingkat kedudukannya di sisi Allah Azza wa Jalla dengan ketakwaan, bukan dengan status sosial."

Ayat tersebut juga menegaskan perintah Allah dalam hal menyikapi perbedaan atau keberagaman yang terjadi. Bahwa kita diciptakan Allah berbeda suku bangsa, dalam berbagai ragam rupa, bahasa dan budaya ini untuk "saling mengenal".

Apa maksudnya?

Keberagaman adalah sarana untuk kemajuan sebuah peradaban. Jika kita hanya berdiam diri di tempat di mana kita dilahirkan, tidak pernah berupaya untuk mengenal budaya orang lain, perbedaan yang dibawa orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa dan hanya tahu orang-orang di sekitar kita saja, maka sikap dan tindak tanduk kita bagai katak dalam tempurung.

Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara kita maka kita akan lebih toleran. Dengan saling mengerti perbedaan yang ada, kita mendapat kesempatan belajar satu sama lain.

Islam sangat menghargai keberagaman, dan meminta umatnya untuk menghargai perbedaan status sosial. Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: "Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian."

Kita dilahirkan dari keturunan yang bermartabat, itu patut disyukuri. Kita dianugerahi harta yang melimpah, syukur alhamdulillah. Tapi, semua ini tak ada artinya di sisi Allah jika kita tidak punya amal salih dan hati yang ikhlas. 

Jika hati kita mulai condong pada kesombongan dari apa yang kita miliki, jika hati kita mulai congkak dengan tidak bisa menghargai orang lain yang berbeda, ingatlah bahwa sandal jepit Bilal bin Rabah yang kulitnya hitam legam itu jauh lebih berharga daripada sepatu emas milik Fir'aun. Keberagaman itu untuk mengenal kerabat, bukan sombong dengan martabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun