Lalu, di manakah keadilan bagi Harun dan Reyhan?
Mustofa Nahra ditangkap karena bersimpati pada mereka, meski dengan cara yang salah. Keliru memberi narasi pada sebuah video, yang sudah diklarifikasi menurut versi polisi.
Sementara banyak netizen lain yang malah melontarkan kata-kata tak bermoral atas kematian mereka. Menyalahkan dan memfitnah Gubernur DKI Jakarta, Prabowo, Sandiaga dan tokoh-tokoh yang berseberangan dengan pemerintah atas kerusuhan yang terjadi yang mengakibatkan jatuhnya korban tewas. Dan mereka semua yang tak menunjukkan simpati pada Harun dan Reyhan ini masih bernasib baik, tidak ditangkap seperti Mustofa Nahra.
Lalu, di manakah keadilan bagi Harun dan Reyhan?
Di saat orang tua mereka sedang mencari keadilan, media malah sibuk membahas penangkapan Mustofa Nahra. Presiden sibuk membahas calon-calon menteri. Partai politik sibuk membahas pembagian kursi di MPR/DPR. Dan polisi sendiri sibuk membuat klarifikasi.
Pasca kontestasi pemilu, semua pihak mengajak kembali bersatu. Lupakan partai politik, lupakan nomor 01 dan 02, mari bersatu membangun bangsa.
Sayang, mereka berucap tanpa bertindak. Mereka hanya pandai beretorika, tapi tak pandai memberi teladan bagi rakyatnya.
Bagaimana bisa merangkul sementara niat ikhlas dan tulus untuk merangkul itu tak pernah terbersit? Bagaimana bisa bersatu sementara pihak yang berseberangan selalu dianggap sebagai musuh?
Persatuan itu berawal dari keadilan. Tanpa diminta, rakyat akan kembali bersatu jika mereka merasakan keadilan dari pemimpinnya. Masyarakat sekarang tidak memerlukan retorika. Mereka hanya menginginkan contoh dan teladan yang nyata dari pemimpinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H