Saya pertama kali mengenal sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub (Allahu yarham, semoga Allah mengampuni dosa dan menerima segala amalnya) sewaktu beliau mengisi acara pengajian akbar di Masjid Agung Sudirman, Denpasar, awal tahun 2014. Ketika itu dalam ceramah agamanya, beliau mengkritik keras perilaku sebagian umat islam yang diberi rizki lebih, dimana mereka melakukan ibadah haji dan umroh berulangkali.Â
Kritik ini pertama kali beliau tulis dalam sebuah kolom di surat kabar 15 tahun yang lalu, tapi selalu beliau ulang dalam setiap kesempatan ceramah agama.
Beliau menyebut perilaku ini sebagai perilaku yang konsumtif, dan memberi mereka gelar "Haji Pengabdi Setan". Tentu saja kritik beliau tersebut mengundang reaksi keras dari beberapa ulama. Banyak yang tidak terima dengan kritikan tersebut. Namun setelah dijelaskan apa hakekat dan pengertian istilah berkonotasi negatif tersebut, para ulama akhirnya memahami dan menerima kritik tentang Haji Pengabdi Setan.
Dalam menyampaikan ceramah agama, seperti yang saya saksikan waktu itu, KH. Ali Mustafa Yaqub selalu menggunakan bahasa yang sederhana, disesuaikan dengan pendengarnya. Sehingga penyampaian materi ceramahnya mudah dipahami. Bila sedang membahas hal yang serius, mimik muka beliau juga serius. Meski begitu, tak jarang beliau juga melontarkan beberapa lelucon untuk mencairkan suasana pengajian.
Profil singkat Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub
KH. Ali Mustafa Yaqub, adalah Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4 yang menjabat mulai periode tahun 2005-2016 (sebelum digantikan Prof.Dr. Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal yang sekarang). Beliau dilahirkan di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah pada tanggal 2 Maret tahun 1952.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya, beliau kemudian dimasukkan ke pondok pesantren Seblak, Jombang oleh ayah beliau. Ali Mustafa Yaqub muda belajar di pesantren ini hingga tingkat Tsanawiyah, atau selama tiga tahun (1966-1969). Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya di Ponpes Tebuireng, Jombang hingga tahun 1972.
Di ponpes inilah beliau banyak menemukan guru, diantaranya KH. Idris Kamali, KH. Adhlan Ali, KH. Shobari, dan KH. Syamsuri Badawi. Selain nyantri, KH. Ali Mustafa Yaqub juga menimba ilmu di Universitas Hasyim Asyari Jombang hingga tahun 1975.
Pada 1976, beliau mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi untuk belajar di Fakultas Syari'ah Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa'ud, Riyadh, Arab Saudi. Beliau menamatkan pendidikan S1 ini hingga tamat dengan ijazah Licance (Lc) yang diperolehnya tahun 1980.
KH. Ali Mustafa Yaqub kemudian melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa'ud Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985. Beliau melanjutkan jenjang doktoralnya pada tahun 2006 di universitas Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M. Hasan Hitou, seorang Guru Besar Fiqih Islam dan Usul Fiqh Universitas Kuwait serta Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman. Pada pertengahan tahun 2007, Kiai Ali merupakan salah satu orang yang mendapatkan gelar profesor sebelum lulus ujian disertasinya.
Pakar Hadist yang Gemar Menulis
KH. Ali Mustafa Yaqub adalah sosok ulama yang moderat dan cinta damai. Kemoderatannya didukung dengan penguasaan ilmu agama yang luas, terutama tentang hadist. Beliau bahkan dikatakan sebagai Penerima Sanad Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Artinya, beliau menguasai penuh semua hadist yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, baik secara sanad dan matannya.
Sejak menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal pada tahun 2005, beliau semakin semangat untuk mengembangkan keilmuan hadist di Indonesia. Beliau sangat aktif dan gemar menulis, bahkan bisa dikatakan bahwa beliau adalah ulama yang sangat produktif dalam berkarya. Tak kurang ada sekitar 50 buku hasil karya beliau.
Beberapa karya beliau di bidang ilmu Hadist diantaranya; Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis (1991); Kritik Hadis (1995); Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM A'zam Pembela Eksistensi Hadis (2002); Hadis-Hadis Bermasalah (2003); dan Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003).
Tak hanya buku-buku seputar ilmu hadist, KH. Ali Mustafa Yaqub juga banyak menghasilkan karya di bidang ilmu Fiqh dan Ilmu Dakwah. Diantara hasil karya beliau di bidang Fiqh adalah; Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur'an Dan Hadis (2009); Nikah Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur'an Dan Hadis (2005); dan Imam Perempuan (2006).Â
Sementara dalam bidang Dakwah meliputi: Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan Penghafal al-Qur'an (1990); Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (1997); Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur'an Dan Hadis (2000); Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010).
Sebagian besar karya beliau ditulis dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab dan Inggris. Bahkan sebelum wafat, beliau masih sempat menulis beberapa buku. Diantaranya adalah Islam is not Only for Muslim. Buku ini beliau tulis dengan bahasa Inggris. Selain itu beliau juga pernah menulis buku yang berjudul "Titik-Temu NU-Wahabi" yang juga beliau terjemahkan dengan bahasa arab dengan judul: "al-Wahabiyah wa Nahdlatul Ulama: Ittifaqun fi al-Ushul la Ikhtilaf".
Pesan KH. Ali Mustafa Yaqub: Jangan Mati Sebelum Menerbitkan Buku
Kecintaan KH. Ali Mustafa Yaqub dalam dunia tulis menulis ditularkan pada murid-muridnya. Beliau sering memberikan motivasi kepada para santri dengan adagium khas beliau: "Wa la tamutunna illa wa antum katibun"Â (jangan mati sebelum menerbitkan buku). Ungkapan ini menyitir sebuah ayat Al Quran, namun oleh beliau diganti bagian akhirnya untuk memotivasi orang berilmu agar mau menerbitkan buku.
Bagi beliau dakwah yang dilakukan melalui tulisan lebih banyak manfaatnya dari pada dakwah yang hanya dilakukan melalui lisan. Menurut beliau sebuah tulisan akan tetap kekal walaupun penulisnya sudah meninggal dunia (al-khattu yabqa zamanan fil ardhi wal katibul khatti tahta al-ardhi madfunun).
Pada 28 April 2016, umat Islam Indonesia kehilangan sosok ulama pecinta damai yang keilmuannya tentang hadist diakui dunia. Semasa masih hidup, beliau sering berkata pada para santrinya, "kun khadiman li rasulillah", (semoga dijadikan khadim/penjaga Rasulullah SAW). Semoga keinginan beliau ini Allah kabulkan, dengan menempatkan beliau bersama Rasulullah. Semoga Allah juga selalu memberikan kemudahan kepada seluruh murid dan santrinya untuk meneruskan perjuangan beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H